Minggu, 02 September 2007

UGM Berubah Bentuk Menjadi Perum

Gede Bayu Suparta
wenten1@yahoo.com

HARI ini, Rabu (31/3/99) Harian Bernas Yogya memuat "isu" soal "Perguruan Tinggi Negeri akan berbentuk Perum". Terlepas apakah "Perguruan Pencak Silat" masuk kategori "tinggi", saya tidak hendak membicarakan pencak silat. Namun terus terang, saya amat setuju kalau perguruan tinggi seperti UGM dapat menjadi Perusahaan Umum (Perum).

Alasannya:

1. Performa Perguruan Tinggi (PT) menjadi dapat dikontrol oleh publik.

2. Publik sebagai "konsumen" bisa meminta layanan terbaik dari PT.

3. PT memiliki kebebasan untuk mengelola semua resource yang dimilikinya, termasuk memperkuat yang sudah kuat, memperbaiki yang memang bisa diperbaiki, serta memecat yang seharusnya dipecat.:=)

4. Komplain civitas akademika (penyelenggara, dosen, karyawan plus mahasiswa) manakala sebuah sistem ataupun proses di perguruan tinggi tidak berjalan dapat di selesaikan secara lokal (Pak Rektor tidak lagi menunggu "petunjuk" Bapak Presiden).

5. Mendorong terciptanya persaingan sehat antar perguruan tinggi di semua daerah. PTN "bukan anak emas" rakyat Indonesia, melainkan PT yang biayanya paling murah tapi "bergengsi"! (???... )

6. Semua civitas akademika dapat diharapkan memiliki loyalitas karena "mereka adalah pegawai perusahaan". Bahkan dalam teori bisnis disebut bahwa untuk memajukan perusahaan, pegawai perusahaan juga diberikan kesempatan memiliki "share".

7. Alasan bahwa bentuk "Perum" bertentangan dengan misi pendidikan tinggi yang tercakup dalam Tri Dharma PT adalah alasan yang dangkal. Misi PT berbentuk perusahaan adalah: Learn it! (Dharma Pendidikan), Think it! (Dharma Penelitian), Give it! (Dharma Pengabdian Masyarakat).

Lalu, masyarakat akan memberikan "reward". Konsekuensinya, siklus Learn it - Think It - Give it terjadi. Dan, ini dapat dilakukan secara amat efisien.

Contoh Kasus (bikinan! :=)) : Bagaimana kita yakin kalau Kota Yogyakarta itu adalah Kota Pelajar, gudangnya orang pintar? Posisi UGM saat ini membuat hanya UGM yang "pintar", sementara PT yang lainnya "bego-bego".

Keadaan ini menempatkan sebagian besar alumni UGM juga "bego", sebab sebagian alumni UGM banyak mendirikan PT di Yogya, bahkan lembaga-lembaga kursus dan bimbingan test. Kalau lulusan UGM pintar-pintar, maka perguruan tinggi yang dikelolanya pun mestinya menghasilkan lulusan pintar.

Bukan soal "bibit"-nya (mahasiswa PTS) yang "bego", tapi karena "orang bego" ketemu "orang bego". Coba kalau "orang bego" ketemu "orang pintar", saya optimis, yang bego tambah pintar, sementara yang pintar makin pintar karena nggak mau dibilang tambah bego! :-) Kalau situasi ini tidak disadari, dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan ikhtiar untuk memperbaiki tidak ada maka UGM dengan amat meyakinkan akan mengalami degradasi di segala bidang.

Bagaimana caranya? Get the autonomy as a right, and then behave on this platform correctly! Bagaimana caranya? Belajarlah menjadi enterpreneur. Saya pikir para "kyai" di Program MBA UGM adalah "resource" UGM yang amat berharga. Instead of, UGM bangga dengan kredibilitas mereka memberikan kuliah "wah" setingkat MBA pun menjadi konsultan bisnis, mungkin UGM bisa memaksimalkan performanya kalau kemampuan mereka digunakan.

Begitulah kira-kira pendapat saya. Ide ini mungkin "nyeleneh", as usual. (You know my type!:=)) Tapi, saya yakin, hanya orang-orang yang mampu memahami konsep: "Learn It, Think It and Give It", yang akan mampu berprilaku "brilian" dan menganggap ide ini "tidak nyeleneh". Orang brilian sendiri tidak harus "cum laude" dari UGM. Mereka adalah "just ordinary people with strong commitment to their will".

Nah karena saya menggunakan kata "mungkin nyeleneh", maka saya "belum" bisa berlaku "brilian". Mungkin besok, ketika saya bangun tidur. Saya akan bernyanyi :

Bangun tidur ku terus ngopi....
Tidak lupa mengambil gitar....
Habis nggitar, kopinya dingin....
Nggak jadi ngopi,.....
Bikin kopi baru....

Maklum, mas...... belum bisa sangkil dan mangkus. :=) Ciao....

Diposting di milis UGM-Club pada 31 Maret 1999

Ikrar Khusnul Khatimah Ambon

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Sampai hari kemarin saya masih berpikir bahwa proses solusi masalah Ambon memerlukan identifikasi dan klarifikasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Masyarakat Ambon, para pemimpin nasional dan bangsa Indonesia perlu menyepakati kejelasan mengenai konteks Ambon, baru ada kemungkinan menentukan solusi yang akurat.

Misalnya apakah ini masalah Ambon ansich, sehingga yang berperang dan tahu penyelesaiannya ya orang Ambon sendiri : kita yang di luar jangan sok tahu dan berlagak pahlawan. Ataukah ini 'resmi' perang Agama. Kalau ya, maka skalanya tak bisa dibatasi di Ambon-Maluku saja, melainkan seluruh nusantara.

Semua orang Kristen dan Islam tak harus berjihad ke Ambon, karena bisa menemukan musuhnya di mana saja. Tapi ini berarti harus kita negasikan segala macam yang selama ini kita tegakkan: komitmen kebangsaan, aturan bernegara, sistem hukum, birokrasi, atau apapun saja. Pokoknya orang Kristen dan Islam tinggal basmi membasmi secepatnya.

Atau konflik Agama itu tidak primer, melainkan hanya pelengkap penderita atau efek dari suatu rekayasa untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan keutuhan Republik Indonesia. Kalau kita sepakat ini masalahnya, maka pemerintah, ABRI, dan semua komponen bangsa kita harus mengibarkan bendera nasionalisme, bergandeng tangan menjadi satu pihak yang kompak melawan kolonialisme dan imperialisme.

Atau mungkin yang terjadi di Ambon adalah puncak upaya 'kaum status quo' untuk mencari legitimasi baru atas eksistensinya. Orang curiga: ABRI sendiri yang bikin....wallahua'lam, kita rakyat kecil yang lemah ini bagaimana bisa tahu? Kalau benar demikian, betapa akan tetap ruwet.

Masalahnya sekarang, apakah kita akan terus asyik berdebat skenario mana yang mendekati kebenaran, sambil menghitung berapa mayat lagi bergelimpangan di jalanan dan kampung Ambon? Apakah kita akan terus asyik maksyuk berargumentasi apakah Pak Amien Rais perlu minta tolong Amerika Serikat, sesudah sekian lama beliau mengajarkan kepada kita kritisisme kepada keadikuasaan AS, dari Perang Teluk dulu hingga Freeport?

Maka hari ini saya ubah haluan berpikir: terserahlah rumah itu kebakaran karena apa, terserah siapa yang membakar, tapi yang pasti adalah sekarang wajib dipadamkan. Terserahlah apa yang terjadi di Ambon, yang penting hanya ada satu kemungkinan solusi yang baik: Ikrar Husnul Khatimah antar pihak yang bertikai, kalau perlu antar semua pihak dalam tubuh bangsa Indonesia.

Dengan bahasa lain: perjanjian untuk menempuh happy ending, entah bagaimanapun prosesnya, teknisnya, prosedurnya. Entah penyelesaian politik, budaya, keagamaan, kemanusiaan, atau apapun namanya. Sudah berlebihan alasan bagi bangsa Indonesia untuk sekarang juga kembali menegakkan keutuhan kebangsaannya, menjahit robekan-robekan nasionalismenya.

"Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore"....kata Sunan Ampel melalui Ilir-ilir. Jahit dan utuhkan kembali cinta kasih kebangsaanmu, agar kalian siap menghadap ke masa depan.

Dalam kerusuhan yang berkepanjangan ini apakah bangsa Indonesia 'mengizinkan' Allah untuk menolong mereka? Melalui tawaran makhraj atau solusiNya? Sebagaimana UUD-45 menyebut kata Tuhan dan Allah, serta Pancasila menomersatukan Ketuhanan Yang Maha Esa, apakah sistem nilai kehidupan bangsa kita siap 'memperkenankan' pertolongan Allah atas kebuntuan keadaan mereka?

Saya wajib menyampaikan amanat ini. Saya ditelponi oleh sejumlah orang awam dari Balikpapan, Tangerang, Cilegon, Depok, Tasikmalaya, Prenduan Madura dll, yang belum pernah ketemu saya, tidak pernah membaca buku saya, tidak pernah memikirkan saya, namun 'diganggu' oleh munculnya bayangan saya, di dalam mimpi berturut-turut, atau melalui istighatsah dan wirid mereka.

Ada yang menyuruh shalawat keliling, dan sudah saya lakukan sejak 8 bulan yang lalu, bersama dengan shalawat malam Seninan Guru Zaini Martapura. Tapi harus sampai ke Aceh, dan belum ada 'takdir' untuk itu hingga hari ini. Ada yang menyuruh bikin kaset Ilir-ilir untuk menawarkan jalan keluar.

Di antara mereka ada Mursyid yang mengirimkan kidung Dandhang Gula dan Mijil karangan 'langit' tentang kebangkitan spiritual 3-4 tahun mendatang.

Yang di Tangerang menyuruh saya mengingatkan orang tentang kecamatan Balaraja, desa Tobat, masjid al-Ikhlas, 9 kuburan baik ke atas permukaan bumi: para Balarajanya Soeharto mestinya bertobat sejak 17 Agustus 1997, juga terutama Rajanya, agar tak terjadi penembakan Trisakti. Trisakti adalah kedaulatan dalam berpolitik, kemandirian dalam ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan -- yang hancur lebur sejak 12 Mei 1988 itu.

Yang di Klaten menyuruh saya meresmikan usaha pesantren bikin dagangan makanan serba kelinci: dikasih sembilan tusuk sate, sembilan irisan daging dan lain-lain yang serba sembilan. Yang terakhir tadi malam saya diamanati untuk memohon agar para Ulama dan Kiai mewiridkan 99 Asmaul Husna 99 kali selama 9 hari berturut-turut, untuk menawar dahsyatnya adzab Allah bulan-bulan depan.

Tapi mungkin Anda berkomentar: "Ini orang sudah tak bisa menyelesaikan masalah secara rasional, sekarang lari ke mistik..."

Fa man sya-a falyu'min wa man sya-a falyakfur. Bagi yang percaya ambillah, bagi yang tak percaya, tinggalkanlah .....

Diposting di UGM-Club pada 30 Maret 1999

Pemilu Mahasiswa UGM Tahun 1999

Di sela-sela kesibukanku bekerja dikejar dead-line malam ini sempat aku lirik Liputan 6 petang SCTV tadi sore (Senin, 29 Maret 1999 pukul 18.30) yang memberitakan soal Pemilu mahasiswa UGM untuk menegakkan demokratisasi dalam pembentukan pemerintahan mahasiswa (student government). Meski cuma selintas, aku ikut tersenyum bangga mendengarnya ........

Menurut berita TV tersebut, mahasiswa UGM ternyata jauh lebih dewasa berpolitik ketimbang para politikus di Ibukota negara. Republik UGM ternyata hebat buanget merancang sebuah Pendidikan Politik bagi mahasiswanya. Kalau yang kutangkap dari siaran TV tadi benar maka
generasiku, aktivis mahasiswa 1989-1991, atau senior-senior generasi Dema UGM 1970-1979 memang tidak ada apa-apanya dengan generasi aktivis mahasiswa 1999-2000. Generasi milenium III Ini benar-benar hebat dalam teori maupun praktek pendidikan politik di kampus.

Seingatku dulu, waktu tahun 1970-1980 partai-partai mahasiswa itu nggak ada. Yang ada juga wakil-wakil organisasi ekstra universiter macam HMI, PMII, GMNI dan sebagainya itu. Dan merekalah yang menjadi "partai" mewakili warna ideologis yang sangat ketat itu. Merekalah yang banyak berperan dalam penentuan Kodema-kodema Fakultas dan berbagai kebijakan
mahasiswa lainnya.

Ketika jamanku dulu beraktivitas, tepat saat itu diberlakukan kebijaksanaan NKK-BKK (1980-1988) yang take for granted (sudah harus diterima). Sebuah kebijakan yang membelenggu aktivitas kemahasiswan serta mengakhiri pengalaman dan praktek politik Dewan Mahasiswa tahun 70-an lah yang diterapkan untuk membentuk pemerintahan mahasiswa.

Kami beruntung bisa memiliki arsip-arsip Kodema dan Dema yang masih tersimpan di berbagai ruang Senat Mahasiswa Fakultas. Kami pun mulai membongkar habis dokumen itu dan kemudian, setelah dilengkapi dengan wawancara beberapa dosen mantan aktivis Dema akhirnya kami berhasil menyusun AD/ART Keluarga Mahasiswa UGM yang baru paska diterapkannya kebijakan SMPT (SK Mendikbud No. 0457/1989). Susah payah memang.

Yang mengejutkan adalah generasi aktivis mahasiswa milenium ke-III ini. Kabarnya pencalonan seorang Senator mahasiswa tidak lagi mewakili fakultas masing-masing. Para mahasiswa UGM itu justru bereksperimen dengan mendirikan beberapa partai mahasiswa. Namanya juga asyik-asyik. Mulai dari Partai Kebangkitan Demokrasi, Partai Mahasiswa Bunderan,
Partai Gelanggang, Partai Persaudaraan Muslim, Partai Solidaritas dan macam-macam lagi.

Mereka punya DPP masing-masing, dan di tingkat Fakultas masing-masing partai membentuk Dewan Pimpinan Fakultas serta di tingkat jurusan ada Dewan Pimpinan Jurusan. Mereka juga bebas menentukan program partainya masing-masing dan berkampanye dengan bebas lengkap
dengan bendera partai masing-masing. Heboh banget, kelihatannya.

Seorang calon pemimpin mahasiswa UGM kabarnya bisa didukung oleh berbagai fakultas dan mengikuti Pemilu untuk menduduki badan legislatif. Sedangkan Presiden Mahasiswa UGM (semacam Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM) dipilih secara langsung oleh semua mahasiswa yang masih punya hak pilih. Jadi tidak lagi dipilih lewat Kongres seperti jamanku dulu. Ini
benar-benar revolusi cara berfikir buat kami-kami yang senior sekarang ini.

Selamat untuk angkatannya Ridaya La Ode Ngkowe di UGM yang berhasil merancang Pemilu mahasiswa gaya baru seperti itu. Mestinya semua pemimpin Partai Politik bisa belajar dari Pemilu ala mahasiswa UGM ini .......

Ada nggak warga ugm-club dari unsur mahasiswa yang bisa menjelaskan lebih detail jalannya Pemilu ala mahasiswa UGM itu ? Ada kerusuhan nggak ? Ada persoalan nggak ketika diterapkan di lapangan ? Aku cuma bisa menangkap sekilas tadi beritanya di SCTV.

Diposting pada 30 Maret 1999

Siapa Yang Akan Selamat ?

Oleh : Riswandha Imawan

ANDA bingung hendak memilih partai apa dalam Pemilu 1999 yang disebut- sebut sebagai "pemilu pencerahan" itu? Tidak usah khawatir. Anda mungkin hanya salah satu dari sekian juta warga negara Indonesia yang punya hak pilih, yang bingung. Laporan berbagai pihak dari pelosok tanah air, bahkan menyatakan, banyak warga negara kita yang tidak tahu, bahwa tahun ini akan diadakan pemilu lagi!

Waktu yang kelewat sempit untuk menyiapkan dan melaksanakan Pemilu 99, serta perkembangan sosial-politik-ekonomi yang tidak menggembirakan akhir- akhir ini, membuat banyak orang bertanya "apakah Pemilu 99 jadi dilaksanakan?" Bahkan bila dilaksanakan sekali pun, pertanyaannya lebih serius "apakah kendali politik masih tetap di tangan tokoh reformis, atau justru kembali ke kelompok pendukung status-quo?"

Jawaban terhadap pertanyaan pertama sudah sangat jelas : pasti dilaksanakan. Sebab untuk melakukan perubahan terhadap jadwal pelaksanaan pemilu, harus dilakukan Sidang Istimewa MPR lagi, spesial untuk mengubah ketentuan yang menyatakan bahwa Pemilu 1999 ditetapkan pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu tinggal 11 minggu dari hari ini. Mana mungkin dilakukan SI-MPR lagi? Jadi mau tidak mau pemilu terpaksa dilakukan.

Bagaimana dengan perkembangan sosial-politik-ekonomi yang memburuk? Dalam situasi seperti yang terjadi di Timor Timur, Ambon, maupun Sambas akhir- akhir ini, jangankan melaksanakan pemungutan suara, berkampanye saja tidak mungkin. Bila situasi berkembang lebih buruk lagi, sementara hari "H" pemilu mendekat, bukan mustahil Pemilu 1999 dibatalkan, dan lahirlah pemerintahan junta militer.

Mungkin saja militer tidak berniat masuk lagi ke politik. Tapi mereka tidak akan tinggal diam bila melihat negara dan bangsa ini di ambang disintegrasi. Persoalan lain, seperti skenario perbaikan ekonomi memang akan menjadi berantakan lagi. Tapi kita sudah sepakat bahwa dalam kondisi apa pun, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak boleh dikorbankan.

Kalau begitu, sudah, di daerah yang proses pemilunya diperkirakan bermasalah, pemilu tidak usah dilaksanakan. Ini memang ideal. Namun ketentuannya adalah, pemilu dilakukan secara serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah hukum RI. Artinya, bila ada daerah yang tidak melaksanakan pemilu, pemilunya batal demi hukum.

***

BAIKLAH, pemilu terpaksa dilaksanakan. Lalu siapa di antara 48 partai yang ada saat ini yang masih memiliki peluang untuk tetap ikut pada pemilu berikutnya? Setidaknya ada 5 (lima) variabel yang bisa kita jadikan patokan untuk menilainya.

Pertama, pemimpin dan kepemimpinan. Di era reformasi saat ini, pemimpin yang diharapkan muncul adalah mereka yang sama sekali tidak terkena "aroma Soeharto". Reformasi yang identik dengan demokratisasi menghendaki pemimpin yang berjiwa egalitarian, yang mau duduk bersimpuh bersama rakyatnya membahas masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi. Bukan pemimpin yang bergaya arogan, yang untuk minta maaf saja harus menunggu hari raya Idul Fitri.

Pemimpin yang dikehendaki adalah yang visioner, memiliki visi jangka panjang sehingga mampu memainkan peran pencerahan kepada rakyatnya. Selain itu, mengingat ancaman disintegrasi yang kita hadapi, serta kemerosotan moral yang luar biasa, maka pemimpin yang didambakan rakyat saat ini adalah yang jiwa nasionalismenya kuat serta beretika. Tidak dikehendaki, misalnya, pemimpin yang mengaku tidak punya uang satu sen pun tetapi bisa membeli rumah di London.

Kedua, basis massa yang jelas. Hanya partai yang memiliki akar massa yang bisa bertahan pada Pemilu 1999. Selain menjadi penjamin perolehan suara minimal, basis massa itu menjadi semacam modal bagi partai yang bersangkutan untuk menyebarkan "dagangannya" selama masa kampanye. Otomatis sebaran konsentrasi massa juga sangat menentukan. Sekalipun massanya banyak tapi terkonsentrasi di satu tempat, sangat tidak mendukung upaya partai menambang suara pemilih sebanyak-banyaknya.

Pemilu 99 jelas merupakan ujian bagi partai, apakah mereka benar-benar memiliki massa. Khusus bagi dua partai lama, Golkar dan PDI yang selama ini menikmati perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui semacam mobilisasi dukungan, Pemilu 99 merupakan ajang pembuktian bahwa mereka bisa survive tanpa perlindungan dan fasilitas apa pun.

Ketiga, basis ideologi. Partai harus memiliki ideologi, satu gambaran lengkap dari berbagai dimensi tentang kehidupan sosial-politik yang diidamkan. Ideologilah yang membedakan satu partai dengan partai lain, yang membuat pemilih yakin partai yang akan dipilihnya. Di sini harus dibedakan antara ideologi partai dengan ideologi negara.

Semua partai harus tunduk pada ideologi negara ; sebab partai hanyalah bagian (part) dari satu bagian bangsa (nation). Ideologi partai berusaha menggambarkan tafsiran atas ideologi negara, tentang bentuk ideal kehidupan kemasyarakatan menurut pandangan mereka.

Keempat, basis material. Hanya partai yang memiliki sumber keuangan yang cukup, yang memadai untuk setidaknya menggerakkan roda organisasi, yang masih akan tetap ada setelah Pemilu 99 berakhir.

Kekhawatiran masyarakat akan politik uang (money politic) bersumber pada kenyataan bahwa salah satu partai memiliki "dana raksasa" yang tidak mungkin lagi dihitung dengan kalkulator. Kekuatan raksasa ini sudah mereka tunjukkan dengan kampanye terselubung, bagi-bagi uang "untuk kepentingan organisasi". Konon, uang itu milik pribadi sang tokoh, dan bagi-bagi uang itu dinilai sebagai zakat mal. Waduh, kalau begitu pendapatan tokoh itu bisa sampai ratusan milyar rupiah sebulan !

Politik uang memang mengkhawatirkan. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang makin sulit, akan banyak pemilih yang menentukan pilihan dengan pertimbangan sesaat, pragmatis. Ini potensial membuat masukan aspirasi masyarakat menjadi manipulatif, dan keluaran dari sistem itu juga manipulatif. Akibatnya, kita saksikan sendiri, apa pun yang dilakukan pemerintah tidak cocok dengan agenda masyarakat, yang berujung pada runtuhnya satu pemerintahan atau satu rezim politik.

Kelima, tersedianya infrastruktur organisasi yang memadai. Tidak perlu didebat, hanya segelintir partai-partai reformis saja yang memiliki infrastruktur yang mampu mengimbangi infrastruktur partai-partai lama. Melalui jaringan infrastruktur yang dimiliki, ditambah kekuatan keuangan yang besar sekali, bukan mustahil partai-partai lama bisa mengalahkan partai-partai baru.

***

LALU, siapa yang akan tetap ada setelah Pemilu 99 berakhir? Melihat bentang ideologis yang tidak demikian variatif dalam masyarakat kita, serta sedikitnya isu-isu sosial-politik yang bisa dikelola untuk dijual dalam kampanye pemilu, bisa dipastikan bahwa jumlah partai yang memiliki kekuatan yang cukup untuk terlibat membentuk satu pemerintahan akan turun drastis dari angka 48 partai.

Bila diikuti basis pembilahan ideologi yang ada, yang jumlahnya tidak lebih dari 4 (empat) akar pokok, dan bila diasumsikan bahwa tiap akar akan melahirkan dua partai yang mendapat suara paling menonjol, maka jumlah partai yang bisa terlibat dalam pemerintahan tidak lebih dari 8 (delapan) buah. Kalau pun derajat militansi digunakan, ada partai yang sangat militan, setengah militan dan moderat, maka jumlah partai yang survive tidak akan lebih dari 12 buah.

Berapa pun jumlah partai yang muncul, tampaknya Pemilu 1999 merupakan ajang uji coba terhadap kekuatan politik yang ada di Indonesia. Selain itu, kelemahan yang masih mencolok dalam tiga UU Politik yang menjadi landasan Pemilu 99 tampaknya masih harus diperbaiki lagi untuk Pemilu 2004. Artinya, boleh jadi pemilu yang sebenarnya, yang aturannya benar-benar dipahami rakyat sehingga mereka bisa menikmati positive freedom, baru akan terjadi pada Pemilu 2004.

Dengan demikian dapat diramalkan, bahwa hasil Pemilu 99 adalah terbentuknya sistem kepartaian yang disebut Polarized Pluralism, ada beberapa partai yang membentuk pemerintahan dan beberapa partai yang berkoalisi untuk membentuk oposisi. Bagaimana pun, cerita ada partai yang demikian gagah perkasa terhadap partai yang lain sudah tamat. Reformasi menghendaki keseimbangan antar kutub-kutub politik yang ada dalam sistem politik kita.

Kaki Merapi, 25 Maret 1999

Diposting di UGM-Club pada 29 Maret 1999


Mahasiswa UGM Jadi Pemantau Pemilu

Saya baru saja menerima kabar dari kawan-kawan di Yogyakarta bahwa tanpa publikasi yang gembar-gembor sebanyak 300 mahasiswa UGM diterjunkan sebagai pemantau Pemilu. Mereka akan diterjunkan ke berbagai desa yang biasanya menjadi lokasi KKN UGM. Kabar ini tentu saja sangat menggembirakan karena saya yang KKN pada tahun 1992 justru merasa diasingkan dari kegiatan Pemilu karena KKN saya yang mestinya pertengahan tahun akhirnya dimajukan ke awal tahun.

Yang jelas, ke-300 mahasiswa UGM itu akan terjun ke daerah pedesaan mulai 10 April 1999 mendatang dan tugas utamanya adalah melakukan Pendidikan Politik serta penyuluhan mengenai Pemilu. Dalam penjelasannya, Rektor UGM Prof Dr Ichlasul Amal mengatakan bahwa program ini merupakan realisasi dari lompatan akademik yang dilakukan UGM, dimana tugas pemantauan pemilu ini merupakan bentuk dari kuliah kerja nyata (KKN) yang pengertian regulernya lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik di pedesaan.

Menurut Amal, waktu pemantauan pemilu direncanakan antara 10 April sampai 15 Juni 1999. Waktunya cukup panjang karena yang dipantau mahasiswa bukan hanya saat hari pencoblosan, tetapi seluruh proses pentahapan pemilu. ''Jadi yang akan dipantau mahasiswa mulai dari pendaftaran sampai pencoblosan, bahkan sampai pada pengamanan transpor kotak suara. Ada 'kan pada Pemilu yang lalu kotak suara tidak dilangsungkan ke kecamatan atau kabupaten, tetapi diselewengkan dulu untuk diganti isinya. Mulai dari TPS, kecamatan dan kabupaten akan diawasi," tegasnya.

Kerusuhan-kerusuhan menjelang pemilu yang dilakukan antarpartai peserta pemilu juga dipantau oleh mahasiswa dan akan diadukan ke Panwaslak dan berbagai lembaga pengawasan Pemilu lainnya. Partai yang terbukti melakukan aksi kekerasan akan dikenai sangsi bahkan terancam dibubarkan oleh Mahkamah Agung bila sampai menyebabkan korban jiwa.

Selain melakukan pemantaun pemilu, mahasiswa selama di lokasi KKN juga tetap diwajibkan berinteraksi dengan masyarakat setempat, membantu kesulitan masyarakat desa, ataupun memberikan ceramah/ pembekalan politik. Pembekalan atau Pendidikan politik ini termasuk juga memperkenalkan visi dan materi ke-48 partai peserta Pemilu sehingga masyarakat pedesaan bisa memperoleh informasi yang akurat mengenai partai apa yang tepat untuk dipilih oleh mereka.

Seluruh hasil pantauan mahasiswa ini dilaporkan kepada Komite Pemantau Pemilu (KPP) UGM yang diketuai Bambang Kartika, Pembantu Rektor III UGM. KPP inilah yang akan melaporkan kepada tim pengawas pemilu yang dibentuk pemerintah. Bambang menyatakan, 300 orang mahasiswa ini akan diterjunkan di empat kabupaten, yaitu Gunungkidul, Kulonprogo, Sleman dan Bantul. "Kami sengaja akan konsentrasikan untuk wilayah DIY saja. Khusus untuk Kodya Yogyakarta, kami tidak menempatkan mahasiswa karena pengawasan dari masyarakat sendiri sudah lebih ketat," tegas Bambang.

Menurut Bambang, 300 mahasiswa itu jumlahnya sangat kecil dibanding jumlah tempat pemungutan suara (TPS). Di empat kabupaten itu terdapat 75 kecamatan dengan 5.500 TPS. Sayang sekali memang. Ternyata mahasiswa UGM yang punya keperdulian terhadap persoalan politik tetap saja jauh lebih sedikit dibandingkan mereka yang berwatak apolitis. Apakah hal ini merupakan cerminan masyarakat kita ? Waduhh

Diposting pada 24 Maret 1999

Rabu, 01 Agustus 2007

Bontang dan Pupuk Kaltim


Menggeliat Setelah Industri Gas Dibangun


Oleh : Sunaryo Broto
sbroto@pupukkaltim.com


BERBEDA dengan teman-teman lain. Saya justru mencoba untuk memperkenalkan kota tempat saya bekerja saat ini, dan sekaligus juga perusahaan dimana saya mencari nafkah. Bontang pada umumnya dan Pupuk Kaltim (PKT) pada khususnya. Mumpung punya kesempatan. Tidak tertutup temen-temen bisa menambahkan hal yang perlu. Memang banyak teman-teman Kagama bekerja di sini. Kebanyakan alumni Teknik Kimia, dan setelah itu ada pula sejumlah alumni lainnya dari Fakultas Ekonomi.

Bontang di peta Kaltim berjarak sekitar 120 km sebelah utara Samarinda (ibukota provinsi Kaltim) atau 235 km sebelah utara Balikpapan. Bontang sendiri sudah menjadi kota administratif dan masih di bawah Kabupaten Kutai (Luas Kab. Kutai lebih besar dari Jawa Barat). Jarak dari Bontang ke Tenggarong (ibukota Kab. Kutai) sekitar 150 km. Sudah ada jalan darat ke Tenggarong yang melewati Samarinda dan menyusuri Sungai Mahakam.

Bontang sendiri berbatas laut -Selat Makasar dan Taman Nasional Kutai. Penduduk Bontang sekitar 100.000 an. Masyarakat Bontang kebanyakan pendatang mungkin karena suku Dayak asli Kalimantan bukan masyarakat berkultur pantai. Ada dari suku Jawa -sebagian besar etnis disini - juga ada pula suku Sunda, Batak, Bugis dan lain-lain.

Yang menarik, ada pula penduduk yang sudah lama menetap di Bontang tetapi bukan asli Kalimantan. Mereka menempati daerah pantai dan membangun pemukiman di atas air laut. Diduga suku ini ada hubungannya dengan suku Bajau dari Sulawesi. Mereka kebanyakan nelayan dan beragama Islam. Tempat pemukimannya di Bontang Kuala dan menjadi pemandangan yang eksotik bagi masyarakat pendatang. Beberapa kali kehidupan suku ini menjadi liputan media massa, terutama televisi.

Bontang sendiri mulai bergeliat tumbuh sejak dibangunnya industri di situ. Ada dua industri besar yang mengawali yaitu LNG Badak yang memproduksi gas alam cair dan PT Pupuk Kaltim yang memproduksi amoniak dan pupuk urea. Keduanya berbahan baku sama, gas alam. PT Pupuk Kaltim sendiri dibangun tahun 1977 dan LNG Badak sebelumnya. LNG Badak sekarang sudah mempunyai 7 kilang dan sedang menyelesaikan train H.

Sekarang sudah tumbuh banyak industri lain pula di Bontang. Meski kota kecil, Bontang sudah ada bandara kecil, bisa untuk pesawat Dash-7. Belum ada penerbangan reguler di Bontang, yang ada penerbangan carteran PKT dan LNG Badak dengan pesawat Pelita. Tiap hari ada penerbangan ke Balikpapan pulang pergi. Kalau lewat udara dari Bontang-Balikpapan sekitar 40
menit tetapi kalau lewat darat sekitar 5 jam.

Bontang sendiri hanya kota kecil dengan beberapa pusat pertokoan. Ada Plaza, pasar, beberapa bank BUMN dan swasta. Ada juga stadion dan dua lapangan golf. PT Pupuk Kaltim sendiri sudah mempunyai 3 pabrik dengan kapasitas 1.419.000 ton amoniak dan 1.839.750 ton urea per tahun. Telah selesai juga dibangun pabrik urea unit 4 (Popka) dan sekarang menunggu produksi.

Di sekitar PKT sendiri ada pabrik UF resin, hexamine, ammonium bikarbonat, melamine, methanol, Dan sekarang sedang dalam taraf penyelesaian pabrik soda ash, dan pabrik amoniak. Ada juga di sini kawasan Kaltim Industrial Estate. Karyawan PKT ada 1.444 orang. PKT mempunyai dua kantor perwakilan, Jakarta dan Balikpapan. Ada juga kantor penghubung di Samarinda, ibukota provinsi.

Apa yang dikenal masyarakat tentang PKT ? Mungkin sebagai produsen pupuk. Mungkin juga PS Pupuk Kaltim Galatama yang baru bertanding 10 besar Liga Indonesia di Stadion Senayan. Sayang sekali kemarin PS PKT kalah melawan Pelita Bakrie 3-0 setelah menang lawan PSM 1-0. Sekarang baru menunggu pertandingan melawan Persija yang menentukan langkah berikutnya, semi final.

PKT dan Bontang dikenal pula sebagai pembuat mobil nasional truk lewat Industri Peralatan Pabrik (IPP). Di sini ada juga marching band Pupuk Kaltim yang berhasil menggondol tiga kali gelar juara nasional pada Grand Prix Marching Band tingkat nasional. Fasilitas lain, ada sekolah, rumah sakit, pelabuhan, fasilitas olah raga, hotel, komplek pemukiman dan lain sebagainya. Bisa membayangkan semua itu ?

Atau mungkin ilustrasi cerita ini sedikit bisa membantu. Malam itu telah larut. Ada seorang karyawan -yang baru pulang dari Jepang- masih mengutak-ngutik angka-angka dan laporan di laptopnya. TVnya masih menyala dengan berita pengeboman NATO terhadap Yogoslavia dari CNN. Di depan rumah, di dekat tempat sampah ada suara grok...grok...dengan diiringi bunyi endusan. Apa itu ? Jangan kaget. Itu adalah suara babi hutan mencari makan di tempat sampah. Ada juga monyet di belakang rumah. Juga biawak dan ular. Begitulah suasana Bontang, khususnya pemukiman karyawan PKT bila malam tiba.

Posting #403, diposting pada 26 Maret 1999

Sistem Pendidikan Kita


Pembenahan Mestinya Dimulai dari Dasar

Oleh : Santoso, Sangatta

MINGGU ini ada kunjungan siswa-siswi TBIS ke wilayah Mining area. TBIS atau Tanjung Bara International School di sini adalah semacam Yogya International School, yang ada di bilangan Pogung Baru itu. Sekolah ini satu level dengan SD dan spesial diperuntukkan bagi anak-anak expatriate yang meraup rejeki di seputaran Sangatta, Kutai Timur.

Meski hanya selevel SD, fasilitasnya bener-bener bikin ngiler, baik hard ware (gedung dan prasarana fisik) maupun soft warenya (buku-buku dan materi pendukung pengajaran). Selama dua hari kunjungan di Departemen saya Planning Technical, mereka dikenalkan dengan Geologi dan Civil Engineering.

Dari section Civil, disajikan materi bendungan-bendungan kecil yang ada di kawasan tambang, sedang apa yang dari Geologi saya kurang begitu tahu. Setelah itu ada acara Site Tour keliling tambang dengan dipandu oleh beberapa engineer.

Saya jadi merenung, kapan ya SD-SD kita akan menikmati kemewahan begini? Tentu ini hanya sekedar utopia. Apalagi ketakutan munculnya 'the loss generation' semakin mencemaskan saja. Bukan maksud saya untuk menghubungkan momen ini dengan 'link and match'-nya Wardiman. Saya bukan pendukung konsep Depdikbud tersebut.

Orientasi macam ini, menurut saya, hanya akan mereduksi sekaligus mensubordinasikan pendidikan ke bawah ketiak sektor industri. Saya akan bersyukur kalau pendidikan dikembalikan ke fitrahnya yakni (meminjam ungkapan Prof. Slamet Imam Santoso) mampu membuat manusia mandiri, tanpa menggangu manusia lain di lingkungannya.

Tahun lalu, satu team konsultan yang di-hire Depdikbud datang ke tengah hutan sini. Selama tiga hari diadakan workshop dengan engineer dari berbagai disiplin. Melihat backgroundnya yang beraneka ragam, inputnya pun bermacam-macam. Meski yang diomongkan hanya sebatas perkuliahan, saya sempat menanyakan kenapa yang diobok-obok cuma di level atas, sedang level bawah nyaris tak pernah disentuh.

Bagaimana mungkin level atas akan membaik kalau fondasinya kurang kukuh. Ini adalah problema klasik yang penyelesaiannya hanya bersifat tambal sulam. Ibaratnya sakit kanker, tapi cuma diberi aspirin.

Ada sementara pendapat bahwa tambah tahun materi ajar tambah rumit. Sementara relevansinya bagi kehidupan makin dipertanyakan lantaran tidak mampu membekali peserta didik dengan ketrampilan minimal. Teman saya dari ISI (Institut Seni Indonesia, red) dulu mencoba mengukur tingkat kemajuan dengan melihat imajinasi peserta didik. Imajinasi ini kemudian diekspresikan ke sepotong kertas Padalarang.

Dari berbagai sampling data, didapatnya kesimpulan yang menarik. Di Yogya International School, corat-coretnya sangat beragam : Dari Superman sampai yang bersifat agak abstrak. Di komunitas SD high class, lumayan beragam pula dengan dominasi rumah dan pemandangan. Sedang di SD pinggiran, nyaris seragam : dua buah gunung, jalan kereta api, tiang listrik
dan sawah, persis yang diajarkan 20-25 tahun lalu!

Para netters di sini bisa disebut sebagai kelompok yang beruntung bisa mencicipi sistem persekolahan dari TK sampai Perti. Anda-anda punya opini atas masalah segede gunung ini?

Diposting pada

Kunjungan ke Yerusalem, Palestina


Bukan Masalah Agama, Tapi Politik

Oleh : Mylano R Kojongian

MEMBACA kisah Grifa Libran dan sahabatnya saya sungguh terkesan. Saya juga ingin membagikan pengalaman saya yang kiranya bermanfaat untuk banyak orang. Terutama menyebarkan semangat perdamaian dan persaudaraan di mayapada.

Kira-kira setahun yang lalu (1998, red) saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Yerusalem dan saya mendapat banyak sekali pengalaman baru. Yerusalem terdiri dari dua bagian yaitu New Jerusalem atau Jerusalem Barat (kota modern) dan Old Jerusalem atau Jerusalem Timur.

Old Jerusalem adalah bagian yang memiliki tempat-tempat suci bagi agama-agama dunia seperti Masjid Al Aqsa dan Masjid Umar (Dome of the Rock) untuk agama Islam, Tembok Ratapan untuk agama Yahudi, Ecce Homo Church, jalan Via Dolorosa, Bukit Golgota, dan Gereja Bunda Maria untuk agama Nasrani (Kristen dan Katolik).

Kota tersebut dikelilingi oleh tembok dan terdiri dari empat bagian yaitu : bagian Armenia, bagian Muslim, bagian Yahudi, dan bagian Nasrani. Juga terdapat sisa-sisa Imperium Roma. Tempat-tempat suci tersebut di atas saling berdekatan seperti Masjid Al Aqsa berdekatan dengan Tembok Ratapan sehingga untuk mengelilingi semuanya hanya dengan sekali jalan.

Beberapa tempat yang kami kunjungi sangat menarik perhatian seperti diceritakan oleh pemandu wisata bahwa Kuburan Nabi Daud pada hari Jum'at dipakai sebagai tempat sholat oleh umat Muslim, pada hari Sabtu dipakai sebagai Sinagoga oleh umat Yahudi, dan pada hari Minggu dipakai sebagai Gereja oleh umat Nasrani dan tempat tersebut dirawat secara bersama-sama oleh semua umat beragama.

Kemudian Jalan Salib (Via Dolorosa) mulai dari Gereja Ecce Homo sampai Bukit Golgota yang digunakan oleh Yesus Kristus (yang dipercaya oleh umat Nasrani) melalui bagian Muslim. Saya melihat sendiri di toko-toko milik umat Muslim sepanjang jalan tersebut dijual souvenir-souvenir bercirikan Nasrani seperti salib, lukisan, dll. Bahkan seorang Muslim Palestina menawarkan barang-nya dengan menyapa "Halleluyah", mungkin karena dia melihat dalam rombongan kami hampir semua dari Eropa.

Karena ditanya oleh seorang turis Eropa si pemandu wisata menceritakan bahwa pertentangan dan pertikaian yang terjadi di sana adalah semata-mata soal tanah dan politik. Suatu hal yang sangat sangat penting bagi mereka untuk tetap survive dan diakui, jadi bukan sama sekali masalah agama dan kepercayaan.

Seorang turis yang cukup kritis bertanya lalu mengapa sampai terjadi Perang Salib? Si pemandu menerangkan lagi bahwa perang tersebut bukan perang agama tetapi perang yang disebabkan oleh nafsu imperialis bangsa-bangsa penjajah yang menamakan perang tersebut adalah perang suci mengatasnamakan agama.

Kalau memang demikian mengapa mereka turut menghancurkan tempat-tempat suci umat beragama? tanya si pemandu. Itulah sebabnya di Yerusalem kita juga dapat melihat sisa-sisa peninggalan Imperium Roma, Ottoman Turki dan museum Holocaust (museum mengenang masa pembantaian Yahudi oleh Nazi).

Kemudian kita juga berkunjung ke BETLEHEM tempat kelahiran Yesus Kristus (tempat suci bagi umat Nasrani). Sejak tahun 1996 atau 1997 daerah tersebut sudah diserahkan kepada otoritas Palestina.

Pada saat kita memasuki gereja di tempat kelahiran Yesus Kristus tersebut si pemandu mengajukan pertanyaan kepada rombongan yaitu jika di Roma Vatikan pada saat Hari Natal bahasa pertama yang digunakan dalam kebaktian adalah bahasa Latin dan bahasa kedua adalah bahasa Roma maka di gereja Betlehem bahasa pertama dalam kebaktian adalah bahasa Latin tetapi bahasa kedua adalah bahasa Arab.

Ini cukup mengherankan. Kami kira tadinya bahasa kedua adalah bahasa Ibrani tetapi si pemandu menegaskan bahwa yang digunakan sebagai bahasa kedua adalah bahasa Arab, sambil mengingatkan bahwa tidak semua orang Arab beragaman Islam. Banyak juga yang beragama Kristen Maronit atau ortodoks.

Dan pengalaman yang juga sangat berkesan bagi saya adalah ketika saya ingin berfoto bersama seorang polisi Palestina untuk kenangan dia bertanya asal negara saya dan saya jawab dari Indonesia dia merangkul saya dan berkata bahwa dia tahu presidennya adalah Suharto, lagi dia bertanya "so you must be a Moslem" dan saya jawab "No, I'm a Christian", sambil tetap merangkul saya dia berkata "No problem, we are brother".

Dari pengalaman saya tersebut, saya berpikir kita bangsa Indonesia seharusnya belajar kembali dari saudara-saudara kita yang hidup di kota suci bagaimana seharusnya kita hidup bersama walaupun kita berbeda agama. Apakah karena mereka telah sejak dahulu kala telah mewarisi nilai-nilai agama? Lalu mengapa kita di Indonesia banyak diantara kita yang masih saja terus mempertentangkan masalah agama?

Diposting pada 3 Maret 2000

Selasa, 31 Juli 2007

Manisnya Persahabatan


Meski Beda Agama Tak Halangi Keakraban

Oleh : Grifa Libra

DULU semasih kuliah di kota ketiga terbesar di tanah air, aku tinggal berdua dalam satu kamar kost dengan teman yang datang dari tanah Batak, rekanku ini memang orang Batak dan bernama, kusebut saja Tigor. Ia seorang Kristen yang kalau dalam Islam bisa disebut seorang yang alim.

Maksudnya segala perilaku kesehariannya sangat menyenangkan sebagai seorang teman. Beberapa sifat mulia selaku teman dan manusia sejati, dalam kadar lebih dari rata-rata manusia biasa, temanku ini memilikinya. Sebagai contoh kepeduliannya akan hal-hal yang berifat kemanusiaan tanpa melihat siapa yang menjadi rekannya.

Tentu bukan hanya Tigor ini saja yang menjadi rekanku. Ada banyak lagi yang lainnya yang kebetulan datang dari berbagai daerah. Ini mungkin mudah dimaklumi memang demikianlah situasi dunia perkuliahan, mahasiswa datang dari berbagai penjuru mata angin ke suatu tempat membentuk komunitas dunia kampus. Mahasiswa yang datang dari daerah setempat tentu sudah pasti lebih banyak lagi. Tapi Tigorlah, rekanku yang paling berkesan hingga kini.

Kembali pada persahabatanku dengan Tigor. Entah bagaimana mulanya kok pada akhirnya kami bisa menyewa kamar kost dan tinggal sekamar. Kami berdua memang datang dari daerah, aku dari barat dan ia dari timur, kalau itu berdasarkan posisi di kota mana kami menuntut ilmu.Perkenalan pertamaku dengannya terjadi di hari-hari pendaftaran ulang di kampus.

Ia dan aku datang ke kampus langsung dari daerah asal masing-masing pada hari kami berkenalan itu. Mungkin karena kami ternyata sefakultas, hari pertama itu tanpa kami sadari kami selalu bersama dalam segala urusan pendaftaran ulang pun juga ketika urusan sudah selesai rencana untuk mencari lokasi kamar kost sama-sama ingin kami tuntaskan hari itu.Singkat kata jadilah kami menyewa kamar kost dan tinggal bersama pada hari-hari berikutnya ketika segala urusan dunia perkuliahan dimulai.

Aku Islam dan dia Kristen, tinggal sekamar, tidur seranjang, pakaian dan buku juga sealmari yang cuma dipisah oleh sekat lemari, begitu juga tempat sikat gigi dan sabun mandi, kecuali meja belajar yang tentu masing-masing memilikinya.

Kesemuanya hanyalah cermin bahwa kami datang dari keluarga yang jauh dari berada. Kamar kost kami bukanlah berukuran besar, namun demikian kami bisa mengaturnya nyaman dan tidak kelihatan sumpek. Sebagai seorang muslim yang sembahyang lima waktu sehari, tentu aku perlu sedikit tempat buat sajadah.

Di luar dugaanku, Tigor tahu akan keperluanku ini, dengan senang hati ia sengaja mengatur posisi meja belajar dan almari kongsi kami bagaimana agar aku punya tempat untuk meletakkan sajadah buat sholat.Demikianlah yang terjadi antara aku dan sahabatku Tigor.

Tidak pernah sekalipun di antara kami berselisih, kalaupun ada, sobatku ini menjalaninya dengan hati riang dan penuh canda dengan hal-hal yang kadang kami berbeda pandangan. Kami berdiskusi dan kadang berdebat tentang segala hal, tapi tidak untuk masuk ke perkara akidah dan doktrin ajaran agama kami masing-masing. Tidak pernah aku mencoba untuk itu, tidak juga darinya datang untuk memulai diskusi perbedaan agama.

Tanpa pernah kami saling mengungkapkan, kami sudah menyadari sejak awal bahwa debat atau pembicaraan soal-soal perbedaan akidah itu ujung-ujungnya adalah perbincangan yang tidak sehat bakal muncul. Ada masa dan ada tempatnya untuk hal itu dan dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, bukan oleh mahasiswa bau kencur seperti kami kala itu.

Di atas meja sahabatku ini selalu ada Bibel yang sering-sering dipelajarinya hingga larut malam. Demikian juga di atas meja belajarku Al Quran selalu kuletakkan untuk mengingatkanku agar jangan sempat lupa untuk sekali-kali membacanya dan memahami kandungannya.Tapi sungguh, ini bukan cermin bahwa kami berdua diam-diam bersaing siapa yang bakal tampak lebih alim dan mencari perhatian rekan lainnya. Bukan, bukan untuk tujuan seperti itu.

Tidak hanya sekali dua sahabatku ini sering mengingatkanku bahwa tiba waktunya sholat bagiku sewaktu adzan berkumandang, atau pada hari jumat kalau aku masih duduk lesehan seperti tak hendak ke mana, ia sering bertanya, apakah aku tak akan pergi sholat jumat?

Kalau dilihatnya aku sudah bersarung dan siap untuk sholat, ia akan mematikan siaran radio bila saat itu radio kecil di kamar kami lagi turn-on dan beranjak ke kamar sebelah untuk mengingatkan rekan lain bahwa aku sedang sholat dan hendaknya mereka mengcilkan volume tape recordernya.

Suatu ketika aku terserang infeksi tenggorokan, aku ogah-ogahan untuk pergi ke dokter partikelir [unit rawat/pelayanan kesehatan kampus sudah tutup kala itu] selain bertumpu pada obat-obatan anti demam yang dijual di kios-kios. Tapi Tigor sahabatku ini tidak membiarkan aku tetap dalam kemalasanku, dipanggilnya becak dan dipaksanya aku turut bersamanya ke klinik dokter terdekat. Begitu perhatiannya dia padaku.

Bila liburan Natal dan Tahun Baru usai, sobatku ini selalu membawa buah tangan berupa kue-kue kering dari kampung yang jamak dibuat oleh baik Muslim dan umat Kristen di manapun.

Tentunya demikian juga aku berbuat yang sama bila libur Lebaran selesai. "Selamat Lebaran!" itu adalah ucapan tulusnya buatku sepulang Lebaran di kampung. Dan kalau aku mengatakan "Semoga kamu dapat kegembiraan di Natal dan Tahun Baru ini!" sebagai ganti ucapan "Selamat Natal dan Tahun Baru!" padanya, ia sangat paham bahwa sebagai muslim aku tidak dianjurkan mengucapkan selamat bagi yang bukan seakidah denganku.

Begitulah, entah ke barat atau pun ke timur kita berjalan, selalu ada persahabatan antar umat beragama yang manis dan saling penuh pengertian. Namun kita juga bisa menjumpai keadaan yang sebaliknya, dimana yang terbangun adalah justru semangat penuh dendam dan kebencian.

Diposting pada 2 Maret 1999

Minggu, 29 Juli 2007

Buletin Silaturahmi UGM-Club Edisi 1


Warga milis UGM-Club yang terhormat,

Belum genap satu minggu, warga milis ini sudah meningkat 1.000 %, dari 5 orang di hari pertama termasuk moderator sekarang jumlahnya sudah mencapai 50 subscriber. Sayangnya, cukup banyak anggota milis yang sekedar 'numpang lewat' saja alias tidak bersedia untuk menyampaikan salam kenalnya kepada anggota milis yang lain. Eh, kenalan itu penting lho Bro.

Dari 50 subscriber, berikut ini mereka yang telah memperkenalkan diri. Anda yang belum, dimohon segera memperkenalkan diri. Lewat satu minggu anda di-kick. Hahahaha. Nggak kok. Becanda. Tapi apa sih susahnya kirim email kenalan.

Coba baca gayanya Bung Tonny alias kak zeto (tonyph@...) ini berkenalan :

Netters Yth.
Perkenalkan nama saya Tonny P. Saya alumni S1 FH - UGM 1985. Sekarang "macul" di FH-Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Terimakasih.

Nah, gampang kan ? Atau mau yang lebih gayeng seperti Pak Asmedi
(asmedi_s@...) ini :

Halo
Ini saya, Asmedi Suripto, alumnus angkatan 1972 Teknik Kimia. Saya bekerja untuk BATAN dan kini diasingkan di Serpong mengurusi bahan bakar nuklir uranium. Status saya sudah menikah dengan bekas pacar dari Teknik Kimia Undip dan dikaruniai 2 anak, satu gadis di SMP kelas 2 dan satu jejaka masih di SD kelas 1.

Moga2 milis UGM-Club ini berjaya dan dapat membantu mencapai rekan2 tua yang tersebar luas di Nusantara dan LN. Kangen bernostalgia .... dan ingin kumpul2 lagi dan ngobrol.

Terimakasih

Asmedi Suripto

Bebas. Terserah anda untuk pakai gaya yang mana. Gaya anda sendiri juga boleh. Atau mau pakai gaya curriculum vitae ? Yang penting jelas dan akrab. Kalau bisa sih pakai guyon, biar yang baca juga senang. Atau mau pakai gaya moderator yang semia formal dan menaruh identitasnya di buntut. Hahahaha.

Selain Bung Tonny dan Asmedi, berikut daftar mereka yang telah memperkenalkan diri kepada forum hingga Selasa, 23 Februari 1999 :

1. Widjajanto Budisulistijo <Widjajanto.Budisulistijo@...>
Teknik Elektro Angkatan 1986. Sedang ambil master telekomunikasi satelit di Toulouse, Perancis. Status menikah dengan isteri bernama Nefita Herkutanti (Sospol UGM 1986).

2. Rudyanto A <yd7dl@...>
Bapak dokter ini beralamat di Kesambi Raya 78 - Cirebon (silahkan mampir kalau lagi mudik). Lulus (atau masuk ?) Kedokteran 1975. Minatnya di bidang Komputer, Fotografi, Elektronika,
Amatir Radio, Musik dan Otomotif.

3. Dr Tantono Subagyo (Asda@...)
Peminat Buku dan Komputer ini adalah seorang peneliti Perkebunan yang kuliah di UGM antara tahun 1970 - 1976 (Wah, moderator masih SD kelas III Pak !)

4. Rully Andrianto Eka B (rully@...)
Karyawan Pupuk Kaltim di Bontang ini masuk ke UGM-Club sekaligus dengan rombongan yang cukup besar alias meng-invite sejumlah temannya. Beliau lulusan T-Kimia th. 1990. Dia berharap agar sesama alumni bisa saling bertukar info termasuk job baru di luar negeri (Wah pengen jadi TKI ya Pak Rully ?!, red).

5. Zullies ikawati (zull98@...)
Bagi moderator kehadiran Ibu Zullies di forum ini sungguh mengejutkan. Hahaha. Kita berduakan pernah bersua waktu SMA dulu. Kami sama-sama SMA di Purwokerto. Moderator SMA 2 dan alumni Farmasi UGM Angkatan 1987 ini SMA 1. Tetapi yang jelas Ibu Zullies ini sekarang sudah berkeluarga dan kuliah lagi di Ehime University, Matsuyama, Japan. Beliau dosen Fakultas Farmasi UGM.

6. Minarwan <minarwan@...>
Nah ini adalah satu-satunya anggota milis bersedia mengungkapkan tanggal bahkan tahun kelahirannya secara blak-blakan. (Alamak, masih muda banget dia). Kelahiran Pulau Bangka 3 Mei 1975 ini masuk ke UGM tahun 93 dan lulus th. 1998 dari Jurusan Teknik Geologi FT UGM. Saat ini bekerja di Premier Oil.

7. Choirul huda <khoir@...>
Mas Choirul ini adalah alumni Teknik Nuklir 1983. Beliau kemudian melanjutkan S-2 dan S-3-nya di Jepang tahun 1992 dan 1994 di Kyoto University, Japan. Sekarang bekerja di Badan Pengawas Tenaga Atom Nasional (BATAN), Jakarta. Pak Khoirul jadi Koordinator alumni FT Nuklir ya untuk Reuni nanti ?

8. Jaka Kirwanto"<jokir@...>
Lha ini pasti temannya Mas Rully yang dari Pupuk Kaltim. Angkatan 1984 Teknik Kimia ini lulus tahun 1990 dan katanya masih betah di Bontang. (Pak, kenapa harga Pupuk mahal ?)

9. Sukardi<sukardi@...>
Beliau ini alumni Teknik Kimia Angkatan 1986. Sama dengan Bung Rully dan Bung Jaka, Bung Sukardi ini bekerja di PT Pupuk Kaltim. Beliau mengabdi disana sejak sejak 1991.

Nah, jumlah subscriber yang baru memperkenalkan diri baru 12 orang (termasuk moderator). Bagaimana 38 subscriber lainnya ? Kapan anda tampil ke milis ini. Ada hadiahnya lho kalau anda memperkenalkan diri yaitu mendapat salam hangat dan pribadi serta jabat tangan erat-erat dari moderator. Langsung ke email anda. Jadi tidak lagi ditembuskan ke ugm-club seperti yang sudah-sudah.

Sekali lagi, mari promosikan dan invite civica UGM sebanyak-banyaknya ke milis ini. Pokoknya jangan lupa : ugm-club-subscribe@egroups.com.

Karakter Manusia



Menurut Buku Personality Plus karangan Florence Littauer ada beberapa sifat atau karakter manusia. Nah, mungkin dengan mengenal sifat ini maka kita bisa mengenali diri kita sendiri untuk selanjutnya memahami watak orang lain di sekitar kita.

Begini. Menurut Littauer, sifat dan watak manusia itu ada empat macam. Pertama, Kolerik (ingin tampil ke depan, bersifat keras layaknya komandan tempur). Kedua, sanguin (periang, hampir tak pernah kelihatan susah namun pelupa dan selalu ingin mendapat perhatian orang lain). Ketiga, melankolik (serius, sistematis dan selalu memikirkan sebuah tindakan masak-masak sebelum melakukannya). Keempat, plegmatis (pasrah, tidak suka bertengkar dan nurut saja mana yang paling mudah).

Nah ini cara sederhana memahami keempat watak dasar manusia itu :

KOLERIK
Kalau menyelesaikan suatu pekerjaan maka seorang Kolerik akan menyelesaikannya dengan caranya sendiri (My Way). Dia sungguh kreatif, bahkan kalau ada manual sekalipun maka dia tidak suka menuruti manual tersebut. Pokoknya si kolerik akan berusaha menyelesaikan pekerjaan itu sampai tuntas. Syaratnya harus dengan cara yang diyakini olehnya benar bukan dengan cara orang lain. Hambatan apapun akan diterjangnya guna mencapai tujuan. Kolerik ini juga senang mengatur orang lain akan tetapi dia sendiri tidak suka kalau dipaksa-paksa untuk melakukan sesuatu.

SANGUINIS
Bagaimana seorang Sanguin harus menyelesaikan pekerjaannya ? Ini susahnya. Orang Sanguin ini orangnya gampangan. Cara dia menyelesaikan pekerjaannya adalah dengan cara yang dianggapnya paling menyenangkan (Fun Away). Bagi dia kalau pekerjaan itu menyenangkan baginya maka dia bisa-bisa tidak ingat waktu. Sayangnya, sang Sanguin ini terkesan bertele-tele karena ingin selalu mencari celah-celah pekerjaan yang bagi dia bisa menimbulkan kegembiraan. Si Sanguin ini juga suka menunda-nunda pekerjaan bahkan kerap melupakan apa yang sudah dikerjakannya. Dia bekerja tanpa rencana dan cenderung menganggap remeh apapun yang dilakukannya. Sikapnya cenderung seenaknya. Kalau ada keramaian maka orang Sanguin selalu tampil paling menonjol, entah dari segi pakaiannya, teriakannya yang menarik perhatian orang atau tingkah lakunya yang nyentrik. Si sanguin ini bisa diibaratkan seorang anak yang terkurung dalam tubuh orang dewasa. Awet muda dan senang bermain-main.

MELANKOLIK
Nah ini dia tipe pekerja teratur. Senangnya rapi dan sistematis. Dalam menyelesaikan pekerjaan maka seorang yang berwatak melankolik akan memilih cara terbaik (best way), bagaimanapun caranya. Kalau ada manualnya maka dia akan mengikuti manual itu 100 % benar. Dia bekerja sangat tekun dan serius, dan selalu menuntut hal yang sama terhadap anak buah atau rekan-rekannya. Kalau ada yang melenceng sedikit dari kemauannya maka dia akan murung dan muram sepanjang hari. Orang Melankolik ini cepat sekali tersentuh perasaannya. Hidupnya teratur dan kalau berpakaian selalu selalu rapi dan charming.

PLEGMATIS
Nah ini dia manusia yang paling menyenangkan bagi semua orang. Orang plegmatis ini nyaris tidak pernah marah. Senyumnya tulus. Hanya saja seperti orang yang tidak punya ambisi. Orangnya damai, dan tidak suka bertengkar. Dia juga pemalu dan cenderung tidak ingin menonjol di keramaian. Seorang plegmatis akan menerima pendapat orang lain apapun itu, meski belum tentu dia mengerjakannya. Kalau melakukan pekerjaan maka orang plegmatis akan melakukannya dengan cara yang paling mudah (easy way). Kadang-kadang dengan menempuh jalan pintas.

Untuk lebih jelasnya, dan menggunakan manfaatnya untuk pergaulan sehari-hari lebih baik anda baca bukunya sampai tuntas.

Posting # 36 pada 23 Februari 1999

Welcoming Message Milis UGM-Club


Alhamdulillah, nice to meet u

Pada hari pertama ugm-club dibuka sudah ada lima makhluk yang bersedia bergabung.
Tentu ini perkembangan yang sangat menyenangkan. Bahkan Bung Balzach sudah pula mengirimkan tanggapan atas tulisan calon Presiden. Dan aha, ada satu anggota milis baru yang saya kenal baik yaitu Mbak Zulies Ikawati. Wow, ini surprise tentu saja. Bagaimana kabarnya Zullies sekarang ?

Ada juga disini Mbak Hindun yang lama sama-sama di milis Shalahuddin. Yang sempat secara tak sengaja saya kirimi virus ya mbak, hahahaha. Dan tentu saja ada Kakzeto. Aduhai siapa sih nama aslinya ? But anyway, selamat datang semua.

Kita tampaknya harus saling memperkenalkan diri nih.
OK-lah dimulai dari saya. Nama saya : Iwan Samariansyah, 30 tahun. Bapak satu anak dengan isteri satu juga (emang mau tambah ? ) Dulu kuliah di Geografi jurusan Perencanaan Pengembangan Wilayah, tetapi saat bekerja terdampar sebagai Jurnalis. Masuk 1987 dan keluar 1994. Lumayan molor ya ? Semasa kuliah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan.

Cukup ya ? Nah, sekarang giliran teman-teman. Sekali lagi. Buat yang sudah kenal maupun belum kenal, Jabat erat selalu dari saya dan mohon bantuannya untuk meng-invite teman-teman yang anda kenal ke milis ini. Mudah-mudahan kerasan di milis ini dan tidak unsubscribe. Untuk selama-lamanya.
Amien,


Posting #6, 22 Februari 1999