Rabu, 01 Agustus 2007

Bontang dan Pupuk Kaltim


Menggeliat Setelah Industri Gas Dibangun


Oleh : Sunaryo Broto
sbroto@pupukkaltim.com


BERBEDA dengan teman-teman lain. Saya justru mencoba untuk memperkenalkan kota tempat saya bekerja saat ini, dan sekaligus juga perusahaan dimana saya mencari nafkah. Bontang pada umumnya dan Pupuk Kaltim (PKT) pada khususnya. Mumpung punya kesempatan. Tidak tertutup temen-temen bisa menambahkan hal yang perlu. Memang banyak teman-teman Kagama bekerja di sini. Kebanyakan alumni Teknik Kimia, dan setelah itu ada pula sejumlah alumni lainnya dari Fakultas Ekonomi.

Bontang di peta Kaltim berjarak sekitar 120 km sebelah utara Samarinda (ibukota provinsi Kaltim) atau 235 km sebelah utara Balikpapan. Bontang sendiri sudah menjadi kota administratif dan masih di bawah Kabupaten Kutai (Luas Kab. Kutai lebih besar dari Jawa Barat). Jarak dari Bontang ke Tenggarong (ibukota Kab. Kutai) sekitar 150 km. Sudah ada jalan darat ke Tenggarong yang melewati Samarinda dan menyusuri Sungai Mahakam.

Bontang sendiri berbatas laut -Selat Makasar dan Taman Nasional Kutai. Penduduk Bontang sekitar 100.000 an. Masyarakat Bontang kebanyakan pendatang mungkin karena suku Dayak asli Kalimantan bukan masyarakat berkultur pantai. Ada dari suku Jawa -sebagian besar etnis disini - juga ada pula suku Sunda, Batak, Bugis dan lain-lain.

Yang menarik, ada pula penduduk yang sudah lama menetap di Bontang tetapi bukan asli Kalimantan. Mereka menempati daerah pantai dan membangun pemukiman di atas air laut. Diduga suku ini ada hubungannya dengan suku Bajau dari Sulawesi. Mereka kebanyakan nelayan dan beragama Islam. Tempat pemukimannya di Bontang Kuala dan menjadi pemandangan yang eksotik bagi masyarakat pendatang. Beberapa kali kehidupan suku ini menjadi liputan media massa, terutama televisi.

Bontang sendiri mulai bergeliat tumbuh sejak dibangunnya industri di situ. Ada dua industri besar yang mengawali yaitu LNG Badak yang memproduksi gas alam cair dan PT Pupuk Kaltim yang memproduksi amoniak dan pupuk urea. Keduanya berbahan baku sama, gas alam. PT Pupuk Kaltim sendiri dibangun tahun 1977 dan LNG Badak sebelumnya. LNG Badak sekarang sudah mempunyai 7 kilang dan sedang menyelesaikan train H.

Sekarang sudah tumbuh banyak industri lain pula di Bontang. Meski kota kecil, Bontang sudah ada bandara kecil, bisa untuk pesawat Dash-7. Belum ada penerbangan reguler di Bontang, yang ada penerbangan carteran PKT dan LNG Badak dengan pesawat Pelita. Tiap hari ada penerbangan ke Balikpapan pulang pergi. Kalau lewat udara dari Bontang-Balikpapan sekitar 40
menit tetapi kalau lewat darat sekitar 5 jam.

Bontang sendiri hanya kota kecil dengan beberapa pusat pertokoan. Ada Plaza, pasar, beberapa bank BUMN dan swasta. Ada juga stadion dan dua lapangan golf. PT Pupuk Kaltim sendiri sudah mempunyai 3 pabrik dengan kapasitas 1.419.000 ton amoniak dan 1.839.750 ton urea per tahun. Telah selesai juga dibangun pabrik urea unit 4 (Popka) dan sekarang menunggu produksi.

Di sekitar PKT sendiri ada pabrik UF resin, hexamine, ammonium bikarbonat, melamine, methanol, Dan sekarang sedang dalam taraf penyelesaian pabrik soda ash, dan pabrik amoniak. Ada juga di sini kawasan Kaltim Industrial Estate. Karyawan PKT ada 1.444 orang. PKT mempunyai dua kantor perwakilan, Jakarta dan Balikpapan. Ada juga kantor penghubung di Samarinda, ibukota provinsi.

Apa yang dikenal masyarakat tentang PKT ? Mungkin sebagai produsen pupuk. Mungkin juga PS Pupuk Kaltim Galatama yang baru bertanding 10 besar Liga Indonesia di Stadion Senayan. Sayang sekali kemarin PS PKT kalah melawan Pelita Bakrie 3-0 setelah menang lawan PSM 1-0. Sekarang baru menunggu pertandingan melawan Persija yang menentukan langkah berikutnya, semi final.

PKT dan Bontang dikenal pula sebagai pembuat mobil nasional truk lewat Industri Peralatan Pabrik (IPP). Di sini ada juga marching band Pupuk Kaltim yang berhasil menggondol tiga kali gelar juara nasional pada Grand Prix Marching Band tingkat nasional. Fasilitas lain, ada sekolah, rumah sakit, pelabuhan, fasilitas olah raga, hotel, komplek pemukiman dan lain sebagainya. Bisa membayangkan semua itu ?

Atau mungkin ilustrasi cerita ini sedikit bisa membantu. Malam itu telah larut. Ada seorang karyawan -yang baru pulang dari Jepang- masih mengutak-ngutik angka-angka dan laporan di laptopnya. TVnya masih menyala dengan berita pengeboman NATO terhadap Yogoslavia dari CNN. Di depan rumah, di dekat tempat sampah ada suara grok...grok...dengan diiringi bunyi endusan. Apa itu ? Jangan kaget. Itu adalah suara babi hutan mencari makan di tempat sampah. Ada juga monyet di belakang rumah. Juga biawak dan ular. Begitulah suasana Bontang, khususnya pemukiman karyawan PKT bila malam tiba.

Posting #403, diposting pada 26 Maret 1999

Sistem Pendidikan Kita


Pembenahan Mestinya Dimulai dari Dasar

Oleh : Santoso, Sangatta

MINGGU ini ada kunjungan siswa-siswi TBIS ke wilayah Mining area. TBIS atau Tanjung Bara International School di sini adalah semacam Yogya International School, yang ada di bilangan Pogung Baru itu. Sekolah ini satu level dengan SD dan spesial diperuntukkan bagi anak-anak expatriate yang meraup rejeki di seputaran Sangatta, Kutai Timur.

Meski hanya selevel SD, fasilitasnya bener-bener bikin ngiler, baik hard ware (gedung dan prasarana fisik) maupun soft warenya (buku-buku dan materi pendukung pengajaran). Selama dua hari kunjungan di Departemen saya Planning Technical, mereka dikenalkan dengan Geologi dan Civil Engineering.

Dari section Civil, disajikan materi bendungan-bendungan kecil yang ada di kawasan tambang, sedang apa yang dari Geologi saya kurang begitu tahu. Setelah itu ada acara Site Tour keliling tambang dengan dipandu oleh beberapa engineer.

Saya jadi merenung, kapan ya SD-SD kita akan menikmati kemewahan begini? Tentu ini hanya sekedar utopia. Apalagi ketakutan munculnya 'the loss generation' semakin mencemaskan saja. Bukan maksud saya untuk menghubungkan momen ini dengan 'link and match'-nya Wardiman. Saya bukan pendukung konsep Depdikbud tersebut.

Orientasi macam ini, menurut saya, hanya akan mereduksi sekaligus mensubordinasikan pendidikan ke bawah ketiak sektor industri. Saya akan bersyukur kalau pendidikan dikembalikan ke fitrahnya yakni (meminjam ungkapan Prof. Slamet Imam Santoso) mampu membuat manusia mandiri, tanpa menggangu manusia lain di lingkungannya.

Tahun lalu, satu team konsultan yang di-hire Depdikbud datang ke tengah hutan sini. Selama tiga hari diadakan workshop dengan engineer dari berbagai disiplin. Melihat backgroundnya yang beraneka ragam, inputnya pun bermacam-macam. Meski yang diomongkan hanya sebatas perkuliahan, saya sempat menanyakan kenapa yang diobok-obok cuma di level atas, sedang level bawah nyaris tak pernah disentuh.

Bagaimana mungkin level atas akan membaik kalau fondasinya kurang kukuh. Ini adalah problema klasik yang penyelesaiannya hanya bersifat tambal sulam. Ibaratnya sakit kanker, tapi cuma diberi aspirin.

Ada sementara pendapat bahwa tambah tahun materi ajar tambah rumit. Sementara relevansinya bagi kehidupan makin dipertanyakan lantaran tidak mampu membekali peserta didik dengan ketrampilan minimal. Teman saya dari ISI (Institut Seni Indonesia, red) dulu mencoba mengukur tingkat kemajuan dengan melihat imajinasi peserta didik. Imajinasi ini kemudian diekspresikan ke sepotong kertas Padalarang.

Dari berbagai sampling data, didapatnya kesimpulan yang menarik. Di Yogya International School, corat-coretnya sangat beragam : Dari Superman sampai yang bersifat agak abstrak. Di komunitas SD high class, lumayan beragam pula dengan dominasi rumah dan pemandangan. Sedang di SD pinggiran, nyaris seragam : dua buah gunung, jalan kereta api, tiang listrik
dan sawah, persis yang diajarkan 20-25 tahun lalu!

Para netters di sini bisa disebut sebagai kelompok yang beruntung bisa mencicipi sistem persekolahan dari TK sampai Perti. Anda-anda punya opini atas masalah segede gunung ini?

Diposting pada

Kunjungan ke Yerusalem, Palestina


Bukan Masalah Agama, Tapi Politik

Oleh : Mylano R Kojongian

MEMBACA kisah Grifa Libran dan sahabatnya saya sungguh terkesan. Saya juga ingin membagikan pengalaman saya yang kiranya bermanfaat untuk banyak orang. Terutama menyebarkan semangat perdamaian dan persaudaraan di mayapada.

Kira-kira setahun yang lalu (1998, red) saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Yerusalem dan saya mendapat banyak sekali pengalaman baru. Yerusalem terdiri dari dua bagian yaitu New Jerusalem atau Jerusalem Barat (kota modern) dan Old Jerusalem atau Jerusalem Timur.

Old Jerusalem adalah bagian yang memiliki tempat-tempat suci bagi agama-agama dunia seperti Masjid Al Aqsa dan Masjid Umar (Dome of the Rock) untuk agama Islam, Tembok Ratapan untuk agama Yahudi, Ecce Homo Church, jalan Via Dolorosa, Bukit Golgota, dan Gereja Bunda Maria untuk agama Nasrani (Kristen dan Katolik).

Kota tersebut dikelilingi oleh tembok dan terdiri dari empat bagian yaitu : bagian Armenia, bagian Muslim, bagian Yahudi, dan bagian Nasrani. Juga terdapat sisa-sisa Imperium Roma. Tempat-tempat suci tersebut di atas saling berdekatan seperti Masjid Al Aqsa berdekatan dengan Tembok Ratapan sehingga untuk mengelilingi semuanya hanya dengan sekali jalan.

Beberapa tempat yang kami kunjungi sangat menarik perhatian seperti diceritakan oleh pemandu wisata bahwa Kuburan Nabi Daud pada hari Jum'at dipakai sebagai tempat sholat oleh umat Muslim, pada hari Sabtu dipakai sebagai Sinagoga oleh umat Yahudi, dan pada hari Minggu dipakai sebagai Gereja oleh umat Nasrani dan tempat tersebut dirawat secara bersama-sama oleh semua umat beragama.

Kemudian Jalan Salib (Via Dolorosa) mulai dari Gereja Ecce Homo sampai Bukit Golgota yang digunakan oleh Yesus Kristus (yang dipercaya oleh umat Nasrani) melalui bagian Muslim. Saya melihat sendiri di toko-toko milik umat Muslim sepanjang jalan tersebut dijual souvenir-souvenir bercirikan Nasrani seperti salib, lukisan, dll. Bahkan seorang Muslim Palestina menawarkan barang-nya dengan menyapa "Halleluyah", mungkin karena dia melihat dalam rombongan kami hampir semua dari Eropa.

Karena ditanya oleh seorang turis Eropa si pemandu wisata menceritakan bahwa pertentangan dan pertikaian yang terjadi di sana adalah semata-mata soal tanah dan politik. Suatu hal yang sangat sangat penting bagi mereka untuk tetap survive dan diakui, jadi bukan sama sekali masalah agama dan kepercayaan.

Seorang turis yang cukup kritis bertanya lalu mengapa sampai terjadi Perang Salib? Si pemandu menerangkan lagi bahwa perang tersebut bukan perang agama tetapi perang yang disebabkan oleh nafsu imperialis bangsa-bangsa penjajah yang menamakan perang tersebut adalah perang suci mengatasnamakan agama.

Kalau memang demikian mengapa mereka turut menghancurkan tempat-tempat suci umat beragama? tanya si pemandu. Itulah sebabnya di Yerusalem kita juga dapat melihat sisa-sisa peninggalan Imperium Roma, Ottoman Turki dan museum Holocaust (museum mengenang masa pembantaian Yahudi oleh Nazi).

Kemudian kita juga berkunjung ke BETLEHEM tempat kelahiran Yesus Kristus (tempat suci bagi umat Nasrani). Sejak tahun 1996 atau 1997 daerah tersebut sudah diserahkan kepada otoritas Palestina.

Pada saat kita memasuki gereja di tempat kelahiran Yesus Kristus tersebut si pemandu mengajukan pertanyaan kepada rombongan yaitu jika di Roma Vatikan pada saat Hari Natal bahasa pertama yang digunakan dalam kebaktian adalah bahasa Latin dan bahasa kedua adalah bahasa Roma maka di gereja Betlehem bahasa pertama dalam kebaktian adalah bahasa Latin tetapi bahasa kedua adalah bahasa Arab.

Ini cukup mengherankan. Kami kira tadinya bahasa kedua adalah bahasa Ibrani tetapi si pemandu menegaskan bahwa yang digunakan sebagai bahasa kedua adalah bahasa Arab, sambil mengingatkan bahwa tidak semua orang Arab beragaman Islam. Banyak juga yang beragama Kristen Maronit atau ortodoks.

Dan pengalaman yang juga sangat berkesan bagi saya adalah ketika saya ingin berfoto bersama seorang polisi Palestina untuk kenangan dia bertanya asal negara saya dan saya jawab dari Indonesia dia merangkul saya dan berkata bahwa dia tahu presidennya adalah Suharto, lagi dia bertanya "so you must be a Moslem" dan saya jawab "No, I'm a Christian", sambil tetap merangkul saya dia berkata "No problem, we are brother".

Dari pengalaman saya tersebut, saya berpikir kita bangsa Indonesia seharusnya belajar kembali dari saudara-saudara kita yang hidup di kota suci bagaimana seharusnya kita hidup bersama walaupun kita berbeda agama. Apakah karena mereka telah sejak dahulu kala telah mewarisi nilai-nilai agama? Lalu mengapa kita di Indonesia banyak diantara kita yang masih saja terus mempertentangkan masalah agama?

Diposting pada 3 Maret 2000