Waktu yang kelewat sempit untuk menyiapkan dan melaksanakan Pemilu 99, serta perkembangan sosial-politik-ekonomi yang tidak menggembirakan akhir- akhir ini, membuat banyak orang bertanya "apakah Pemilu 99 jadi dilaksanakan?" Bahkan bila dilaksanakan sekali pun, pertanyaannya lebih serius "apakah kendali politik masih tetap di tangan tokoh reformis, atau justru kembali ke kelompok pendukung status-quo?"
Jawaban terhadap pertanyaan pertama sudah sangat jelas : pasti dilaksanakan. Sebab untuk melakukan perubahan terhadap jadwal pelaksanaan pemilu, harus dilakukan Sidang Istimewa MPR lagi, spesial untuk mengubah ketentuan yang menyatakan bahwa Pemilu 1999 ditetapkan pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu tinggal 11 minggu dari hari ini. Mana mungkin dilakukan SI-MPR lagi? Jadi mau tidak mau pemilu terpaksa dilakukan.
Bagaimana dengan perkembangan sosial-politik-ekonomi yang memburuk? Dalam situasi seperti yang terjadi di Timor Timur, Ambon, maupun Sambas akhir- akhir ini, jangankan melaksanakan pemungutan suara, berkampanye saja tidak mungkin. Bila situasi berkembang lebih buruk lagi, sementara hari "H" pemilu mendekat, bukan mustahil Pemilu 1999 dibatalkan, dan lahirlah pemerintahan junta militer.
Mungkin saja militer tidak berniat masuk lagi ke politik. Tapi mereka tidak akan tinggal diam bila melihat negara dan bangsa ini di ambang disintegrasi. Persoalan lain, seperti skenario perbaikan ekonomi memang akan menjadi berantakan lagi. Tapi kita sudah sepakat bahwa dalam kondisi apa pun, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak boleh dikorbankan.
Kalau begitu, sudah, di daerah yang proses pemilunya diperkirakan bermasalah, pemilu tidak usah dilaksanakan. Ini memang ideal. Namun ketentuannya adalah, pemilu dilakukan secara serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah hukum RI. Artinya, bila ada daerah yang tidak melaksanakan pemilu, pemilunya batal demi hukum.
***
BAIKLAH, pemilu terpaksa dilaksanakan. Lalu siapa di antara 48 partai yang ada saat ini yang masih memiliki peluang untuk tetap ikut pada pemilu berikutnya? Setidaknya ada 5 (lima) variabel yang bisa kita jadikan patokan untuk menilainya.
Pertama, pemimpin dan kepemimpinan. Di era reformasi saat ini, pemimpin yang diharapkan muncul adalah mereka yang sama sekali tidak terkena "aroma Soeharto". Reformasi yang identik dengan demokratisasi menghendaki pemimpin yang berjiwa egalitarian, yang mau duduk bersimpuh bersama rakyatnya membahas masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi. Bukan pemimpin yang bergaya arogan, yang untuk minta maaf saja harus menunggu hari raya Idul Fitri.
Pemimpin yang dikehendaki adalah yang visioner, memiliki visi jangka panjang sehingga mampu memainkan peran pencerahan kepada rakyatnya. Selain itu, mengingat ancaman disintegrasi yang kita hadapi, serta kemerosotan moral yang luar biasa, maka pemimpin yang didambakan rakyat saat ini adalah yang jiwa nasionalismenya kuat serta beretika. Tidak dikehendaki, misalnya, pemimpin yang mengaku tidak punya uang satu sen pun tetapi bisa membeli rumah di London.
Kedua, basis massa yang jelas. Hanya partai yang memiliki akar massa yang bisa bertahan pada Pemilu 1999. Selain menjadi penjamin perolehan suara minimal, basis massa itu menjadi semacam modal bagi partai yang bersangkutan untuk menyebarkan "dagangannya" selama masa kampanye. Otomatis sebaran konsentrasi massa juga sangat menentukan. Sekalipun massanya banyak tapi terkonsentrasi di satu tempat, sangat tidak mendukung upaya partai menambang suara pemilih sebanyak-banyaknya.
Pemilu 99 jelas merupakan ujian bagi partai, apakah mereka benar-benar memiliki massa. Khusus bagi dua partai lama, Golkar dan PDI yang selama ini menikmati perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui semacam mobilisasi dukungan, Pemilu 99 merupakan ajang pembuktian bahwa mereka bisa survive tanpa perlindungan dan fasilitas apa pun.
Ketiga, basis ideologi. Partai harus memiliki ideologi, satu gambaran lengkap dari berbagai dimensi tentang kehidupan sosial-politik yang diidamkan. Ideologilah yang membedakan satu partai dengan partai lain, yang membuat pemilih yakin partai yang akan dipilihnya. Di sini harus dibedakan antara ideologi partai dengan ideologi negara.
Semua partai harus tunduk pada ideologi negara ; sebab partai hanyalah bagian (part) dari satu bagian bangsa (nation). Ideologi partai berusaha menggambarkan tafsiran atas ideologi negara, tentang bentuk ideal kehidupan kemasyarakatan menurut pandangan mereka.
Keempat, basis material. Hanya partai yang memiliki sumber keuangan yang cukup, yang memadai untuk setidaknya menggerakkan roda organisasi, yang masih akan tetap ada setelah Pemilu 99 berakhir.
Kekhawatiran masyarakat akan politik uang (money politic) bersumber pada kenyataan bahwa salah satu partai memiliki "dana raksasa" yang tidak mungkin lagi dihitung dengan kalkulator. Kekuatan raksasa ini sudah mereka tunjukkan dengan kampanye terselubung, bagi-bagi uang "untuk kepentingan organisasi". Konon, uang itu milik pribadi sang tokoh, dan bagi-bagi uang itu dinilai sebagai zakat mal. Waduh, kalau begitu pendapatan tokoh itu bisa sampai ratusan milyar rupiah sebulan !
Politik uang memang mengkhawatirkan. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang makin sulit, akan banyak pemilih yang menentukan pilihan dengan pertimbangan sesaat, pragmatis. Ini potensial membuat masukan aspirasi masyarakat menjadi manipulatif, dan keluaran dari sistem itu juga manipulatif. Akibatnya, kita saksikan sendiri, apa pun yang dilakukan pemerintah tidak cocok dengan agenda masyarakat, yang berujung pada runtuhnya satu pemerintahan atau satu rezim politik.
Kelima, tersedianya infrastruktur organisasi yang memadai. Tidak perlu didebat, hanya segelintir partai-partai reformis saja yang memiliki infrastruktur yang mampu mengimbangi infrastruktur partai-partai lama. Melalui jaringan infrastruktur yang dimiliki, ditambah kekuatan keuangan yang besar sekali, bukan mustahil partai-partai lama bisa mengalahkan partai-partai baru.
***
LALU, siapa yang akan tetap ada setelah Pemilu 99 berakhir? Melihat bentang ideologis yang tidak demikian variatif dalam masyarakat kita, serta sedikitnya isu-isu sosial-politik yang bisa dikelola untuk dijual dalam kampanye pemilu, bisa dipastikan bahwa jumlah partai yang memiliki kekuatan yang cukup untuk terlibat membentuk satu pemerintahan akan turun drastis dari angka 48 partai.
Bila diikuti basis pembilahan ideologi yang ada, yang jumlahnya tidak lebih dari 4 (empat) akar pokok, dan bila diasumsikan bahwa tiap akar akan melahirkan dua partai yang mendapat suara paling menonjol, maka jumlah partai yang bisa terlibat dalam pemerintahan tidak lebih dari 8 (delapan) buah. Kalau pun derajat militansi digunakan, ada partai yang sangat militan, setengah militan dan moderat, maka jumlah partai yang survive tidak akan lebih dari 12 buah.
Berapa pun jumlah partai yang muncul, tampaknya Pemilu 1999 merupakan ajang uji coba terhadap kekuatan politik yang ada di Indonesia. Selain itu, kelemahan yang masih mencolok dalam tiga UU Politik yang menjadi landasan Pemilu 99 tampaknya masih harus diperbaiki lagi untuk Pemilu 2004. Artinya, boleh jadi pemilu yang sebenarnya, yang aturannya benar-benar dipahami rakyat sehingga mereka bisa menikmati positive freedom, baru akan terjadi pada Pemilu 2004.
Dengan demikian dapat diramalkan, bahwa hasil Pemilu 99 adalah terbentuknya sistem kepartaian yang disebut Polarized Pluralism, ada beberapa partai yang membentuk pemerintahan dan beberapa partai yang berkoalisi untuk membentuk oposisi. Bagaimana pun, cerita ada partai yang demikian gagah perkasa terhadap partai yang lain sudah tamat. Reformasi menghendaki keseimbangan antar kutub-kutub politik yang ada dalam sistem politik kita.
Kaki Merapi, 25 Maret 1999
Diposting di UGM-Club pada 29 Maret 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar