Selasa, 31 Juli 2007

Manisnya Persahabatan


Meski Beda Agama Tak Halangi Keakraban

Oleh : Grifa Libra

DULU semasih kuliah di kota ketiga terbesar di tanah air, aku tinggal berdua dalam satu kamar kost dengan teman yang datang dari tanah Batak, rekanku ini memang orang Batak dan bernama, kusebut saja Tigor. Ia seorang Kristen yang kalau dalam Islam bisa disebut seorang yang alim.

Maksudnya segala perilaku kesehariannya sangat menyenangkan sebagai seorang teman. Beberapa sifat mulia selaku teman dan manusia sejati, dalam kadar lebih dari rata-rata manusia biasa, temanku ini memilikinya. Sebagai contoh kepeduliannya akan hal-hal yang berifat kemanusiaan tanpa melihat siapa yang menjadi rekannya.

Tentu bukan hanya Tigor ini saja yang menjadi rekanku. Ada banyak lagi yang lainnya yang kebetulan datang dari berbagai daerah. Ini mungkin mudah dimaklumi memang demikianlah situasi dunia perkuliahan, mahasiswa datang dari berbagai penjuru mata angin ke suatu tempat membentuk komunitas dunia kampus. Mahasiswa yang datang dari daerah setempat tentu sudah pasti lebih banyak lagi. Tapi Tigorlah, rekanku yang paling berkesan hingga kini.

Kembali pada persahabatanku dengan Tigor. Entah bagaimana mulanya kok pada akhirnya kami bisa menyewa kamar kost dan tinggal sekamar. Kami berdua memang datang dari daerah, aku dari barat dan ia dari timur, kalau itu berdasarkan posisi di kota mana kami menuntut ilmu.Perkenalan pertamaku dengannya terjadi di hari-hari pendaftaran ulang di kampus.

Ia dan aku datang ke kampus langsung dari daerah asal masing-masing pada hari kami berkenalan itu. Mungkin karena kami ternyata sefakultas, hari pertama itu tanpa kami sadari kami selalu bersama dalam segala urusan pendaftaran ulang pun juga ketika urusan sudah selesai rencana untuk mencari lokasi kamar kost sama-sama ingin kami tuntaskan hari itu.Singkat kata jadilah kami menyewa kamar kost dan tinggal bersama pada hari-hari berikutnya ketika segala urusan dunia perkuliahan dimulai.

Aku Islam dan dia Kristen, tinggal sekamar, tidur seranjang, pakaian dan buku juga sealmari yang cuma dipisah oleh sekat lemari, begitu juga tempat sikat gigi dan sabun mandi, kecuali meja belajar yang tentu masing-masing memilikinya.

Kesemuanya hanyalah cermin bahwa kami datang dari keluarga yang jauh dari berada. Kamar kost kami bukanlah berukuran besar, namun demikian kami bisa mengaturnya nyaman dan tidak kelihatan sumpek. Sebagai seorang muslim yang sembahyang lima waktu sehari, tentu aku perlu sedikit tempat buat sajadah.

Di luar dugaanku, Tigor tahu akan keperluanku ini, dengan senang hati ia sengaja mengatur posisi meja belajar dan almari kongsi kami bagaimana agar aku punya tempat untuk meletakkan sajadah buat sholat.Demikianlah yang terjadi antara aku dan sahabatku Tigor.

Tidak pernah sekalipun di antara kami berselisih, kalaupun ada, sobatku ini menjalaninya dengan hati riang dan penuh canda dengan hal-hal yang kadang kami berbeda pandangan. Kami berdiskusi dan kadang berdebat tentang segala hal, tapi tidak untuk masuk ke perkara akidah dan doktrin ajaran agama kami masing-masing. Tidak pernah aku mencoba untuk itu, tidak juga darinya datang untuk memulai diskusi perbedaan agama.

Tanpa pernah kami saling mengungkapkan, kami sudah menyadari sejak awal bahwa debat atau pembicaraan soal-soal perbedaan akidah itu ujung-ujungnya adalah perbincangan yang tidak sehat bakal muncul. Ada masa dan ada tempatnya untuk hal itu dan dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, bukan oleh mahasiswa bau kencur seperti kami kala itu.

Di atas meja sahabatku ini selalu ada Bibel yang sering-sering dipelajarinya hingga larut malam. Demikian juga di atas meja belajarku Al Quran selalu kuletakkan untuk mengingatkanku agar jangan sempat lupa untuk sekali-kali membacanya dan memahami kandungannya.Tapi sungguh, ini bukan cermin bahwa kami berdua diam-diam bersaing siapa yang bakal tampak lebih alim dan mencari perhatian rekan lainnya. Bukan, bukan untuk tujuan seperti itu.

Tidak hanya sekali dua sahabatku ini sering mengingatkanku bahwa tiba waktunya sholat bagiku sewaktu adzan berkumandang, atau pada hari jumat kalau aku masih duduk lesehan seperti tak hendak ke mana, ia sering bertanya, apakah aku tak akan pergi sholat jumat?

Kalau dilihatnya aku sudah bersarung dan siap untuk sholat, ia akan mematikan siaran radio bila saat itu radio kecil di kamar kami lagi turn-on dan beranjak ke kamar sebelah untuk mengingatkan rekan lain bahwa aku sedang sholat dan hendaknya mereka mengcilkan volume tape recordernya.

Suatu ketika aku terserang infeksi tenggorokan, aku ogah-ogahan untuk pergi ke dokter partikelir [unit rawat/pelayanan kesehatan kampus sudah tutup kala itu] selain bertumpu pada obat-obatan anti demam yang dijual di kios-kios. Tapi Tigor sahabatku ini tidak membiarkan aku tetap dalam kemalasanku, dipanggilnya becak dan dipaksanya aku turut bersamanya ke klinik dokter terdekat. Begitu perhatiannya dia padaku.

Bila liburan Natal dan Tahun Baru usai, sobatku ini selalu membawa buah tangan berupa kue-kue kering dari kampung yang jamak dibuat oleh baik Muslim dan umat Kristen di manapun.

Tentunya demikian juga aku berbuat yang sama bila libur Lebaran selesai. "Selamat Lebaran!" itu adalah ucapan tulusnya buatku sepulang Lebaran di kampung. Dan kalau aku mengatakan "Semoga kamu dapat kegembiraan di Natal dan Tahun Baru ini!" sebagai ganti ucapan "Selamat Natal dan Tahun Baru!" padanya, ia sangat paham bahwa sebagai muslim aku tidak dianjurkan mengucapkan selamat bagi yang bukan seakidah denganku.

Begitulah, entah ke barat atau pun ke timur kita berjalan, selalu ada persahabatan antar umat beragama yang manis dan saling penuh pengertian. Namun kita juga bisa menjumpai keadaan yang sebaliknya, dimana yang terbangun adalah justru semangat penuh dendam dan kebencian.

Diposting pada 2 Maret 1999