Rabu, 01 Agustus 2007

Sistem Pendidikan Kita


Pembenahan Mestinya Dimulai dari Dasar

Oleh : Santoso, Sangatta

MINGGU ini ada kunjungan siswa-siswi TBIS ke wilayah Mining area. TBIS atau Tanjung Bara International School di sini adalah semacam Yogya International School, yang ada di bilangan Pogung Baru itu. Sekolah ini satu level dengan SD dan spesial diperuntukkan bagi anak-anak expatriate yang meraup rejeki di seputaran Sangatta, Kutai Timur.

Meski hanya selevel SD, fasilitasnya bener-bener bikin ngiler, baik hard ware (gedung dan prasarana fisik) maupun soft warenya (buku-buku dan materi pendukung pengajaran). Selama dua hari kunjungan di Departemen saya Planning Technical, mereka dikenalkan dengan Geologi dan Civil Engineering.

Dari section Civil, disajikan materi bendungan-bendungan kecil yang ada di kawasan tambang, sedang apa yang dari Geologi saya kurang begitu tahu. Setelah itu ada acara Site Tour keliling tambang dengan dipandu oleh beberapa engineer.

Saya jadi merenung, kapan ya SD-SD kita akan menikmati kemewahan begini? Tentu ini hanya sekedar utopia. Apalagi ketakutan munculnya 'the loss generation' semakin mencemaskan saja. Bukan maksud saya untuk menghubungkan momen ini dengan 'link and match'-nya Wardiman. Saya bukan pendukung konsep Depdikbud tersebut.

Orientasi macam ini, menurut saya, hanya akan mereduksi sekaligus mensubordinasikan pendidikan ke bawah ketiak sektor industri. Saya akan bersyukur kalau pendidikan dikembalikan ke fitrahnya yakni (meminjam ungkapan Prof. Slamet Imam Santoso) mampu membuat manusia mandiri, tanpa menggangu manusia lain di lingkungannya.

Tahun lalu, satu team konsultan yang di-hire Depdikbud datang ke tengah hutan sini. Selama tiga hari diadakan workshop dengan engineer dari berbagai disiplin. Melihat backgroundnya yang beraneka ragam, inputnya pun bermacam-macam. Meski yang diomongkan hanya sebatas perkuliahan, saya sempat menanyakan kenapa yang diobok-obok cuma di level atas, sedang level bawah nyaris tak pernah disentuh.

Bagaimana mungkin level atas akan membaik kalau fondasinya kurang kukuh. Ini adalah problema klasik yang penyelesaiannya hanya bersifat tambal sulam. Ibaratnya sakit kanker, tapi cuma diberi aspirin.

Ada sementara pendapat bahwa tambah tahun materi ajar tambah rumit. Sementara relevansinya bagi kehidupan makin dipertanyakan lantaran tidak mampu membekali peserta didik dengan ketrampilan minimal. Teman saya dari ISI (Institut Seni Indonesia, red) dulu mencoba mengukur tingkat kemajuan dengan melihat imajinasi peserta didik. Imajinasi ini kemudian diekspresikan ke sepotong kertas Padalarang.

Dari berbagai sampling data, didapatnya kesimpulan yang menarik. Di Yogya International School, corat-coretnya sangat beragam : Dari Superman sampai yang bersifat agak abstrak. Di komunitas SD high class, lumayan beragam pula dengan dominasi rumah dan pemandangan. Sedang di SD pinggiran, nyaris seragam : dua buah gunung, jalan kereta api, tiang listrik
dan sawah, persis yang diajarkan 20-25 tahun lalu!

Para netters di sini bisa disebut sebagai kelompok yang beruntung bisa mencicipi sistem persekolahan dari TK sampai Perti. Anda-anda punya opini atas masalah segede gunung ini?

Diposting pada

Tidak ada komentar: