Rabu, 01 Agustus 2007

Kunjungan ke Yerusalem, Palestina


Bukan Masalah Agama, Tapi Politik

Oleh : Mylano R Kojongian

MEMBACA kisah Grifa Libran dan sahabatnya saya sungguh terkesan. Saya juga ingin membagikan pengalaman saya yang kiranya bermanfaat untuk banyak orang. Terutama menyebarkan semangat perdamaian dan persaudaraan di mayapada.

Kira-kira setahun yang lalu (1998, red) saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Yerusalem dan saya mendapat banyak sekali pengalaman baru. Yerusalem terdiri dari dua bagian yaitu New Jerusalem atau Jerusalem Barat (kota modern) dan Old Jerusalem atau Jerusalem Timur.

Old Jerusalem adalah bagian yang memiliki tempat-tempat suci bagi agama-agama dunia seperti Masjid Al Aqsa dan Masjid Umar (Dome of the Rock) untuk agama Islam, Tembok Ratapan untuk agama Yahudi, Ecce Homo Church, jalan Via Dolorosa, Bukit Golgota, dan Gereja Bunda Maria untuk agama Nasrani (Kristen dan Katolik).

Kota tersebut dikelilingi oleh tembok dan terdiri dari empat bagian yaitu : bagian Armenia, bagian Muslim, bagian Yahudi, dan bagian Nasrani. Juga terdapat sisa-sisa Imperium Roma. Tempat-tempat suci tersebut di atas saling berdekatan seperti Masjid Al Aqsa berdekatan dengan Tembok Ratapan sehingga untuk mengelilingi semuanya hanya dengan sekali jalan.

Beberapa tempat yang kami kunjungi sangat menarik perhatian seperti diceritakan oleh pemandu wisata bahwa Kuburan Nabi Daud pada hari Jum'at dipakai sebagai tempat sholat oleh umat Muslim, pada hari Sabtu dipakai sebagai Sinagoga oleh umat Yahudi, dan pada hari Minggu dipakai sebagai Gereja oleh umat Nasrani dan tempat tersebut dirawat secara bersama-sama oleh semua umat beragama.

Kemudian Jalan Salib (Via Dolorosa) mulai dari Gereja Ecce Homo sampai Bukit Golgota yang digunakan oleh Yesus Kristus (yang dipercaya oleh umat Nasrani) melalui bagian Muslim. Saya melihat sendiri di toko-toko milik umat Muslim sepanjang jalan tersebut dijual souvenir-souvenir bercirikan Nasrani seperti salib, lukisan, dll. Bahkan seorang Muslim Palestina menawarkan barang-nya dengan menyapa "Halleluyah", mungkin karena dia melihat dalam rombongan kami hampir semua dari Eropa.

Karena ditanya oleh seorang turis Eropa si pemandu wisata menceritakan bahwa pertentangan dan pertikaian yang terjadi di sana adalah semata-mata soal tanah dan politik. Suatu hal yang sangat sangat penting bagi mereka untuk tetap survive dan diakui, jadi bukan sama sekali masalah agama dan kepercayaan.

Seorang turis yang cukup kritis bertanya lalu mengapa sampai terjadi Perang Salib? Si pemandu menerangkan lagi bahwa perang tersebut bukan perang agama tetapi perang yang disebabkan oleh nafsu imperialis bangsa-bangsa penjajah yang menamakan perang tersebut adalah perang suci mengatasnamakan agama.

Kalau memang demikian mengapa mereka turut menghancurkan tempat-tempat suci umat beragama? tanya si pemandu. Itulah sebabnya di Yerusalem kita juga dapat melihat sisa-sisa peninggalan Imperium Roma, Ottoman Turki dan museum Holocaust (museum mengenang masa pembantaian Yahudi oleh Nazi).

Kemudian kita juga berkunjung ke BETLEHEM tempat kelahiran Yesus Kristus (tempat suci bagi umat Nasrani). Sejak tahun 1996 atau 1997 daerah tersebut sudah diserahkan kepada otoritas Palestina.

Pada saat kita memasuki gereja di tempat kelahiran Yesus Kristus tersebut si pemandu mengajukan pertanyaan kepada rombongan yaitu jika di Roma Vatikan pada saat Hari Natal bahasa pertama yang digunakan dalam kebaktian adalah bahasa Latin dan bahasa kedua adalah bahasa Roma maka di gereja Betlehem bahasa pertama dalam kebaktian adalah bahasa Latin tetapi bahasa kedua adalah bahasa Arab.

Ini cukup mengherankan. Kami kira tadinya bahasa kedua adalah bahasa Ibrani tetapi si pemandu menegaskan bahwa yang digunakan sebagai bahasa kedua adalah bahasa Arab, sambil mengingatkan bahwa tidak semua orang Arab beragaman Islam. Banyak juga yang beragama Kristen Maronit atau ortodoks.

Dan pengalaman yang juga sangat berkesan bagi saya adalah ketika saya ingin berfoto bersama seorang polisi Palestina untuk kenangan dia bertanya asal negara saya dan saya jawab dari Indonesia dia merangkul saya dan berkata bahwa dia tahu presidennya adalah Suharto, lagi dia bertanya "so you must be a Moslem" dan saya jawab "No, I'm a Christian", sambil tetap merangkul saya dia berkata "No problem, we are brother".

Dari pengalaman saya tersebut, saya berpikir kita bangsa Indonesia seharusnya belajar kembali dari saudara-saudara kita yang hidup di kota suci bagaimana seharusnya kita hidup bersama walaupun kita berbeda agama. Apakah karena mereka telah sejak dahulu kala telah mewarisi nilai-nilai agama? Lalu mengapa kita di Indonesia banyak diantara kita yang masih saja terus mempertentangkan masalah agama?

Diposting pada 3 Maret 2000

Tidak ada komentar: