Oleh : Emha Ainun Nadjib
Sampai hari kemarin saya masih berpikir bahwa proses solusi masalah Ambon memerlukan identifikasi dan klarifikasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Masyarakat Ambon, para pemimpin nasional dan bangsa Indonesia perlu menyepakati kejelasan mengenai konteks Ambon, baru ada kemungkinan menentukan solusi yang akurat.
Misalnya apakah ini masalah Ambon ansich, sehingga yang berperang dan tahu penyelesaiannya ya orang Ambon sendiri : kita yang di luar jangan sok tahu dan berlagak pahlawan. Ataukah ini 'resmi' perang Agama. Kalau ya, maka skalanya tak bisa dibatasi di Ambon-Maluku saja, melainkan seluruh nusantara.
Semua orang Kristen dan Islam tak harus berjihad ke Ambon, karena bisa menemukan musuhnya di mana saja. Tapi ini berarti harus kita negasikan segala macam yang selama ini kita tegakkan: komitmen kebangsaan, aturan bernegara, sistem hukum, birokrasi, atau apapun saja. Pokoknya orang Kristen dan Islam tinggal basmi membasmi secepatnya.
Atau konflik Agama itu tidak primer, melainkan hanya pelengkap penderita atau efek dari suatu rekayasa untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan keutuhan Republik Indonesia. Kalau kita sepakat ini masalahnya, maka pemerintah, ABRI, dan semua komponen bangsa kita harus mengibarkan bendera nasionalisme, bergandeng tangan menjadi satu pihak yang kompak melawan kolonialisme dan imperialisme.
Atau mungkin yang terjadi di Ambon adalah puncak upaya 'kaum status quo' untuk mencari legitimasi baru atas eksistensinya. Orang curiga: ABRI sendiri yang bikin....wallahua'lam, kita rakyat kecil yang lemah ini bagaimana bisa tahu? Kalau benar demikian, betapa akan tetap ruwet.
Masalahnya sekarang, apakah kita akan terus asyik berdebat skenario mana yang mendekati kebenaran, sambil menghitung berapa mayat lagi bergelimpangan di jalanan dan kampung Ambon? Apakah kita akan terus asyik maksyuk berargumentasi apakah Pak Amien Rais perlu minta tolong Amerika Serikat, sesudah sekian lama beliau mengajarkan kepada kita kritisisme kepada keadikuasaan AS, dari Perang Teluk dulu hingga Freeport?
Maka hari ini saya ubah haluan berpikir: terserahlah rumah itu kebakaran karena apa, terserah siapa yang membakar, tapi yang pasti adalah sekarang wajib dipadamkan. Terserahlah apa yang terjadi di Ambon, yang penting hanya ada satu kemungkinan solusi yang baik: Ikrar Husnul Khatimah antar pihak yang bertikai, kalau perlu antar semua pihak dalam tubuh bangsa Indonesia.
Dengan bahasa lain: perjanjian untuk menempuh happy ending, entah bagaimanapun prosesnya, teknisnya, prosedurnya. Entah penyelesaian politik, budaya, keagamaan, kemanusiaan, atau apapun namanya. Sudah berlebihan alasan bagi bangsa Indonesia untuk sekarang juga kembali menegakkan keutuhan kebangsaannya, menjahit robekan-robekan nasionalismenya.
"Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore"....kata Sunan Ampel melalui Ilir-ilir. Jahit dan utuhkan kembali cinta kasih kebangsaanmu, agar kalian siap menghadap ke masa depan.
Dalam kerusuhan yang berkepanjangan ini apakah bangsa Indonesia 'mengizinkan' Allah untuk menolong mereka? Melalui tawaran makhraj atau solusiNya? Sebagaimana UUD-45 menyebut kata Tuhan dan Allah, serta Pancasila menomersatukan Ketuhanan Yang Maha Esa, apakah sistem nilai kehidupan bangsa kita siap 'memperkenankan' pertolongan Allah atas kebuntuan keadaan mereka?
Saya wajib menyampaikan amanat ini. Saya ditelponi oleh sejumlah orang awam dari Balikpapan, Tangerang, Cilegon, Depok, Tasikmalaya, Prenduan Madura dll, yang belum pernah ketemu saya, tidak pernah membaca buku saya, tidak pernah memikirkan saya, namun 'diganggu' oleh munculnya bayangan saya, di dalam mimpi berturut-turut, atau melalui istighatsah dan wirid mereka.
Ada yang menyuruh shalawat keliling, dan sudah saya lakukan sejak 8 bulan yang lalu, bersama dengan shalawat malam Seninan Guru Zaini Martapura. Tapi harus sampai ke Aceh, dan belum ada 'takdir' untuk itu hingga hari ini. Ada yang menyuruh bikin kaset Ilir-ilir untuk menawarkan jalan keluar.
Di antara mereka ada Mursyid yang mengirimkan kidung Dandhang Gula dan Mijil karangan 'langit' tentang kebangkitan spiritual 3-4 tahun mendatang.
Yang di Tangerang menyuruh saya mengingatkan orang tentang kecamatan Balaraja, desa Tobat, masjid al-Ikhlas, 9 kuburan baik ke atas permukaan bumi: para Balarajanya Soeharto mestinya bertobat sejak 17 Agustus 1997, juga terutama Rajanya, agar tak terjadi penembakan Trisakti. Trisakti adalah kedaulatan dalam berpolitik, kemandirian dalam ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan -- yang hancur lebur sejak 12 Mei 1988 itu.
Yang di Klaten menyuruh saya meresmikan usaha pesantren bikin dagangan makanan serba kelinci: dikasih sembilan tusuk sate, sembilan irisan daging dan lain-lain yang serba sembilan. Yang terakhir tadi malam saya diamanati untuk memohon agar para Ulama dan Kiai mewiridkan 99 Asmaul Husna 99 kali selama 9 hari berturut-turut, untuk menawar dahsyatnya adzab Allah bulan-bulan depan.
Tapi mungkin Anda berkomentar: "Ini orang sudah tak bisa menyelesaikan masalah secara rasional, sekarang lari ke mistik..."
Fa man sya-a falyu'min wa man sya-a falyakfur. Bagi yang percaya ambillah, bagi yang tak percaya, tinggalkanlah .....
Diposting di UGM-Club pada 30 Maret 1999
Minggu, 02 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar