Di sela-sela kesibukanku bekerja dikejar dead-line malam ini sempat aku lirik Liputan 6 petang SCTV tadi sore (Senin, 29 Maret 1999 pukul 18.30) yang memberitakan soal Pemilu mahasiswa UGM untuk menegakkan demokratisasi dalam pembentukan pemerintahan mahasiswa (student government). Meski cuma selintas, aku ikut tersenyum bangga mendengarnya ........
Menurut berita TV tersebut, mahasiswa UGM ternyata jauh lebih dewasa berpolitik ketimbang para politikus di Ibukota negara. Republik UGM ternyata hebat buanget merancang sebuah Pendidikan Politik bagi mahasiswanya. Kalau yang kutangkap dari siaran TV tadi benar maka
generasiku, aktivis mahasiswa 1989-1991, atau senior-senior generasi Dema UGM 1970-1979 memang tidak ada apa-apanya dengan generasi aktivis mahasiswa 1999-2000. Generasi milenium III Ini benar-benar hebat dalam teori maupun praktek pendidikan politik di kampus.
Seingatku dulu, waktu tahun 1970-1980 partai-partai mahasiswa itu nggak ada. Yang ada juga wakil-wakil organisasi ekstra universiter macam HMI, PMII, GMNI dan sebagainya itu. Dan merekalah yang menjadi "partai" mewakili warna ideologis yang sangat ketat itu. Merekalah yang banyak berperan dalam penentuan Kodema-kodema Fakultas dan berbagai kebijakan
mahasiswa lainnya.
Ketika jamanku dulu beraktivitas, tepat saat itu diberlakukan kebijaksanaan NKK-BKK (1980-1988) yang take for granted (sudah harus diterima). Sebuah kebijakan yang membelenggu aktivitas kemahasiswan serta mengakhiri pengalaman dan praktek politik Dewan Mahasiswa tahun 70-an lah yang diterapkan untuk membentuk pemerintahan mahasiswa.
Kami beruntung bisa memiliki arsip-arsip Kodema dan Dema yang masih tersimpan di berbagai ruang Senat Mahasiswa Fakultas. Kami pun mulai membongkar habis dokumen itu dan kemudian, setelah dilengkapi dengan wawancara beberapa dosen mantan aktivis Dema akhirnya kami berhasil menyusun AD/ART Keluarga Mahasiswa UGM yang baru paska diterapkannya kebijakan SMPT (SK Mendikbud No. 0457/1989). Susah payah memang.
Yang mengejutkan adalah generasi aktivis mahasiswa milenium ke-III ini. Kabarnya pencalonan seorang Senator mahasiswa tidak lagi mewakili fakultas masing-masing. Para mahasiswa UGM itu justru bereksperimen dengan mendirikan beberapa partai mahasiswa. Namanya juga asyik-asyik. Mulai dari Partai Kebangkitan Demokrasi, Partai Mahasiswa Bunderan,
Partai Gelanggang, Partai Persaudaraan Muslim, Partai Solidaritas dan macam-macam lagi.
Mereka punya DPP masing-masing, dan di tingkat Fakultas masing-masing partai membentuk Dewan Pimpinan Fakultas serta di tingkat jurusan ada Dewan Pimpinan Jurusan. Mereka juga bebas menentukan program partainya masing-masing dan berkampanye dengan bebas lengkap
dengan bendera partai masing-masing. Heboh banget, kelihatannya.
Seorang calon pemimpin mahasiswa UGM kabarnya bisa didukung oleh berbagai fakultas dan mengikuti Pemilu untuk menduduki badan legislatif. Sedangkan Presiden Mahasiswa UGM (semacam Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM) dipilih secara langsung oleh semua mahasiswa yang masih punya hak pilih. Jadi tidak lagi dipilih lewat Kongres seperti jamanku dulu. Ini
benar-benar revolusi cara berfikir buat kami-kami yang senior sekarang ini.
Selamat untuk angkatannya Ridaya La Ode Ngkowe di UGM yang berhasil merancang Pemilu mahasiswa gaya baru seperti itu. Mestinya semua pemimpin Partai Politik bisa belajar dari Pemilu ala mahasiswa UGM ini .......
Ada nggak warga ugm-club dari unsur mahasiswa yang bisa menjelaskan lebih detail jalannya Pemilu ala mahasiswa UGM itu ? Ada kerusuhan nggak ? Ada persoalan nggak ketika diterapkan di lapangan ? Aku cuma bisa menangkap sekilas tadi beritanya di SCTV.
Diposting pada 30 Maret 1999
Minggu, 02 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
saya kira ada juga kerusuhan,pernah saya ambil kul di fak.filsafat... ..waktu itu ada pemira... saya waktu itu lihat ada pembakaran TPS di filsafat
Posting Komentar