Minggu, 02 September 2007
UGM Berubah Bentuk Menjadi Perum
wenten1@yahoo.com
HARI ini, Rabu (31/3/99) Harian Bernas Yogya memuat "isu" soal "Perguruan Tinggi Negeri akan berbentuk Perum". Terlepas apakah "Perguruan Pencak Silat" masuk kategori "tinggi", saya tidak hendak membicarakan pencak silat. Namun terus terang, saya amat setuju kalau perguruan tinggi seperti UGM dapat menjadi Perusahaan Umum (Perum).
Alasannya:
1. Performa Perguruan Tinggi (PT) menjadi dapat dikontrol oleh publik.
2. Publik sebagai "konsumen" bisa meminta layanan terbaik dari PT.
3. PT memiliki kebebasan untuk mengelola semua resource yang dimilikinya, termasuk memperkuat yang sudah kuat, memperbaiki yang memang bisa diperbaiki, serta memecat yang seharusnya dipecat.:=)
4. Komplain civitas akademika (penyelenggara, dosen, karyawan plus mahasiswa) manakala sebuah sistem ataupun proses di perguruan tinggi tidak berjalan dapat di selesaikan secara lokal (Pak Rektor tidak lagi menunggu "petunjuk" Bapak Presiden).
5. Mendorong terciptanya persaingan sehat antar perguruan tinggi di semua daerah. PTN "bukan anak emas" rakyat Indonesia, melainkan PT yang biayanya paling murah tapi "bergengsi"! (???... )
6. Semua civitas akademika dapat diharapkan memiliki loyalitas karena "mereka adalah pegawai perusahaan". Bahkan dalam teori bisnis disebut bahwa untuk memajukan perusahaan, pegawai perusahaan juga diberikan kesempatan memiliki "share".
7. Alasan bahwa bentuk "Perum" bertentangan dengan misi pendidikan tinggi yang tercakup dalam Tri Dharma PT adalah alasan yang dangkal. Misi PT berbentuk perusahaan adalah: Learn it! (Dharma Pendidikan), Think it! (Dharma Penelitian), Give it! (Dharma Pengabdian Masyarakat).
Lalu, masyarakat akan memberikan "reward". Konsekuensinya, siklus Learn it - Think It - Give it terjadi. Dan, ini dapat dilakukan secara amat efisien.
Contoh Kasus (bikinan! :=)) : Bagaimana kita yakin kalau Kota Yogyakarta itu adalah Kota Pelajar, gudangnya orang pintar? Posisi UGM saat ini membuat hanya UGM yang "pintar", sementara PT yang lainnya "bego-bego".
Keadaan ini menempatkan sebagian besar alumni UGM juga "bego", sebab sebagian alumni UGM banyak mendirikan PT di Yogya, bahkan lembaga-lembaga kursus dan bimbingan test. Kalau lulusan UGM pintar-pintar, maka perguruan tinggi yang dikelolanya pun mestinya menghasilkan lulusan pintar.
Bukan soal "bibit"-nya (mahasiswa PTS) yang "bego", tapi karena "orang bego" ketemu "orang bego". Coba kalau "orang bego" ketemu "orang pintar", saya optimis, yang bego tambah pintar, sementara yang pintar makin pintar karena nggak mau dibilang tambah bego! :-) Kalau situasi ini tidak disadari, dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan ikhtiar untuk memperbaiki tidak ada maka UGM dengan amat meyakinkan akan mengalami degradasi di segala bidang.
Bagaimana caranya? Get the autonomy as a right, and then behave on this platform correctly! Bagaimana caranya? Belajarlah menjadi enterpreneur. Saya pikir para "kyai" di Program MBA UGM adalah "resource" UGM yang amat berharga. Instead of, UGM bangga dengan kredibilitas mereka memberikan kuliah "wah" setingkat MBA pun menjadi konsultan bisnis, mungkin UGM bisa memaksimalkan performanya kalau kemampuan mereka digunakan.
Begitulah kira-kira pendapat saya. Ide ini mungkin "nyeleneh", as usual. (You know my type!:=)) Tapi, saya yakin, hanya orang-orang yang mampu memahami konsep: "Learn It, Think It and Give It", yang akan mampu berprilaku "brilian" dan menganggap ide ini "tidak nyeleneh". Orang brilian sendiri tidak harus "cum laude" dari UGM. Mereka adalah "just ordinary people with strong commitment to their will".
Nah karena saya menggunakan kata "mungkin nyeleneh", maka saya "belum" bisa berlaku "brilian". Mungkin besok, ketika saya bangun tidur. Saya akan bernyanyi :
Bangun tidur ku terus ngopi....
Tidak lupa mengambil gitar....
Habis nggitar, kopinya dingin....
Nggak jadi ngopi,.....
Bikin kopi baru....
Maklum, mas...... belum bisa sangkil dan mangkus. :=) Ciao....
Diposting di milis UGM-Club pada 31 Maret 1999
Ikrar Khusnul Khatimah Ambon
Sampai hari kemarin saya masih berpikir bahwa proses solusi masalah Ambon memerlukan identifikasi dan klarifikasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Masyarakat Ambon, para pemimpin nasional dan bangsa Indonesia perlu menyepakati kejelasan mengenai konteks Ambon, baru ada kemungkinan menentukan solusi yang akurat.
Misalnya apakah ini masalah Ambon ansich, sehingga yang berperang dan tahu penyelesaiannya ya orang Ambon sendiri : kita yang di luar jangan sok tahu dan berlagak pahlawan. Ataukah ini 'resmi' perang Agama. Kalau ya, maka skalanya tak bisa dibatasi di Ambon-Maluku saja, melainkan seluruh nusantara.
Semua orang Kristen dan Islam tak harus berjihad ke Ambon, karena bisa menemukan musuhnya di mana saja. Tapi ini berarti harus kita negasikan segala macam yang selama ini kita tegakkan: komitmen kebangsaan, aturan bernegara, sistem hukum, birokrasi, atau apapun saja. Pokoknya orang Kristen dan Islam tinggal basmi membasmi secepatnya.
Atau konflik Agama itu tidak primer, melainkan hanya pelengkap penderita atau efek dari suatu rekayasa untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan keutuhan Republik Indonesia. Kalau kita sepakat ini masalahnya, maka pemerintah, ABRI, dan semua komponen bangsa kita harus mengibarkan bendera nasionalisme, bergandeng tangan menjadi satu pihak yang kompak melawan kolonialisme dan imperialisme.
Atau mungkin yang terjadi di Ambon adalah puncak upaya 'kaum status quo' untuk mencari legitimasi baru atas eksistensinya. Orang curiga: ABRI sendiri yang bikin....wallahua'lam, kita rakyat kecil yang lemah ini bagaimana bisa tahu? Kalau benar demikian, betapa akan tetap ruwet.
Masalahnya sekarang, apakah kita akan terus asyik berdebat skenario mana yang mendekati kebenaran, sambil menghitung berapa mayat lagi bergelimpangan di jalanan dan kampung Ambon? Apakah kita akan terus asyik maksyuk berargumentasi apakah Pak Amien Rais perlu minta tolong Amerika Serikat, sesudah sekian lama beliau mengajarkan kepada kita kritisisme kepada keadikuasaan AS, dari Perang Teluk dulu hingga Freeport?
Maka hari ini saya ubah haluan berpikir: terserahlah rumah itu kebakaran karena apa, terserah siapa yang membakar, tapi yang pasti adalah sekarang wajib dipadamkan. Terserahlah apa yang terjadi di Ambon, yang penting hanya ada satu kemungkinan solusi yang baik: Ikrar Husnul Khatimah antar pihak yang bertikai, kalau perlu antar semua pihak dalam tubuh bangsa Indonesia.
Dengan bahasa lain: perjanjian untuk menempuh happy ending, entah bagaimanapun prosesnya, teknisnya, prosedurnya. Entah penyelesaian politik, budaya, keagamaan, kemanusiaan, atau apapun namanya. Sudah berlebihan alasan bagi bangsa Indonesia untuk sekarang juga kembali menegakkan keutuhan kebangsaannya, menjahit robekan-robekan nasionalismenya.
"Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore"....kata Sunan Ampel melalui Ilir-ilir. Jahit dan utuhkan kembali cinta kasih kebangsaanmu, agar kalian siap menghadap ke masa depan.
Dalam kerusuhan yang berkepanjangan ini apakah bangsa Indonesia 'mengizinkan' Allah untuk menolong mereka? Melalui tawaran makhraj atau solusiNya? Sebagaimana UUD-45 menyebut kata Tuhan dan Allah, serta Pancasila menomersatukan Ketuhanan Yang Maha Esa, apakah sistem nilai kehidupan bangsa kita siap 'memperkenankan' pertolongan Allah atas kebuntuan keadaan mereka?
Saya wajib menyampaikan amanat ini. Saya ditelponi oleh sejumlah orang awam dari Balikpapan, Tangerang, Cilegon, Depok, Tasikmalaya, Prenduan Madura dll, yang belum pernah ketemu saya, tidak pernah membaca buku saya, tidak pernah memikirkan saya, namun 'diganggu' oleh munculnya bayangan saya, di dalam mimpi berturut-turut, atau melalui istighatsah dan wirid mereka.
Ada yang menyuruh shalawat keliling, dan sudah saya lakukan sejak 8 bulan yang lalu, bersama dengan shalawat malam Seninan Guru Zaini Martapura. Tapi harus sampai ke Aceh, dan belum ada 'takdir' untuk itu hingga hari ini. Ada yang menyuruh bikin kaset Ilir-ilir untuk menawarkan jalan keluar.
Di antara mereka ada Mursyid yang mengirimkan kidung Dandhang Gula dan Mijil karangan 'langit' tentang kebangkitan spiritual 3-4 tahun mendatang.
Yang di Tangerang menyuruh saya mengingatkan orang tentang kecamatan Balaraja, desa Tobat, masjid al-Ikhlas, 9 kuburan baik ke atas permukaan bumi: para Balarajanya Soeharto mestinya bertobat sejak 17 Agustus 1997, juga terutama Rajanya, agar tak terjadi penembakan Trisakti. Trisakti adalah kedaulatan dalam berpolitik, kemandirian dalam ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan -- yang hancur lebur sejak 12 Mei 1988 itu.
Yang di Klaten menyuruh saya meresmikan usaha pesantren bikin dagangan makanan serba kelinci: dikasih sembilan tusuk sate, sembilan irisan daging dan lain-lain yang serba sembilan. Yang terakhir tadi malam saya diamanati untuk memohon agar para Ulama dan Kiai mewiridkan 99 Asmaul Husna 99 kali selama 9 hari berturut-turut, untuk menawar dahsyatnya adzab Allah bulan-bulan depan.
Tapi mungkin Anda berkomentar: "Ini orang sudah tak bisa menyelesaikan masalah secara rasional, sekarang lari ke mistik..."
Fa man sya-a falyu'min wa man sya-a falyakfur. Bagi yang percaya ambillah, bagi yang tak percaya, tinggalkanlah .....
Diposting di UGM-Club pada 30 Maret 1999
Pemilu Mahasiswa UGM Tahun 1999
Menurut berita TV tersebut, mahasiswa UGM ternyata jauh lebih dewasa berpolitik ketimbang para politikus di Ibukota negara. Republik UGM ternyata hebat buanget merancang sebuah Pendidikan Politik bagi mahasiswanya. Kalau yang kutangkap dari siaran TV tadi benar maka
generasiku, aktivis mahasiswa 1989-1991, atau senior-senior generasi Dema UGM 1970-1979 memang tidak ada apa-apanya dengan generasi aktivis mahasiswa 1999-2000. Generasi milenium III Ini benar-benar hebat dalam teori maupun praktek pendidikan politik di kampus.
Seingatku dulu, waktu tahun 1970-1980 partai-partai mahasiswa itu nggak ada. Yang ada juga wakil-wakil organisasi ekstra universiter macam HMI, PMII, GMNI dan sebagainya itu. Dan merekalah yang menjadi "partai" mewakili warna ideologis yang sangat ketat itu. Merekalah yang banyak berperan dalam penentuan Kodema-kodema Fakultas dan berbagai kebijakan
mahasiswa lainnya.
Ketika jamanku dulu beraktivitas, tepat saat itu diberlakukan kebijaksanaan NKK-BKK (1980-1988) yang take for granted (sudah harus diterima). Sebuah kebijakan yang membelenggu aktivitas kemahasiswan serta mengakhiri pengalaman dan praktek politik Dewan Mahasiswa tahun 70-an lah yang diterapkan untuk membentuk pemerintahan mahasiswa.
Kami beruntung bisa memiliki arsip-arsip Kodema dan Dema yang masih tersimpan di berbagai ruang Senat Mahasiswa Fakultas. Kami pun mulai membongkar habis dokumen itu dan kemudian, setelah dilengkapi dengan wawancara beberapa dosen mantan aktivis Dema akhirnya kami berhasil menyusun AD/ART Keluarga Mahasiswa UGM yang baru paska diterapkannya kebijakan SMPT (SK Mendikbud No. 0457/1989). Susah payah memang.
Yang mengejutkan adalah generasi aktivis mahasiswa milenium ke-III ini. Kabarnya pencalonan seorang Senator mahasiswa tidak lagi mewakili fakultas masing-masing. Para mahasiswa UGM itu justru bereksperimen dengan mendirikan beberapa partai mahasiswa. Namanya juga asyik-asyik. Mulai dari Partai Kebangkitan Demokrasi, Partai Mahasiswa Bunderan,
Partai Gelanggang, Partai Persaudaraan Muslim, Partai Solidaritas dan macam-macam lagi.
Mereka punya DPP masing-masing, dan di tingkat Fakultas masing-masing partai membentuk Dewan Pimpinan Fakultas serta di tingkat jurusan ada Dewan Pimpinan Jurusan. Mereka juga bebas menentukan program partainya masing-masing dan berkampanye dengan bebas lengkap
dengan bendera partai masing-masing. Heboh banget, kelihatannya.
Seorang calon pemimpin mahasiswa UGM kabarnya bisa didukung oleh berbagai fakultas dan mengikuti Pemilu untuk menduduki badan legislatif. Sedangkan Presiden Mahasiswa UGM (semacam Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM) dipilih secara langsung oleh semua mahasiswa yang masih punya hak pilih. Jadi tidak lagi dipilih lewat Kongres seperti jamanku dulu. Ini
benar-benar revolusi cara berfikir buat kami-kami yang senior sekarang ini.
Selamat untuk angkatannya Ridaya La Ode Ngkowe di UGM yang berhasil merancang Pemilu mahasiswa gaya baru seperti itu. Mestinya semua pemimpin Partai Politik bisa belajar dari Pemilu ala mahasiswa UGM ini .......
Ada nggak warga ugm-club dari unsur mahasiswa yang bisa menjelaskan lebih detail jalannya Pemilu ala mahasiswa UGM itu ? Ada kerusuhan nggak ? Ada persoalan nggak ketika diterapkan di lapangan ? Aku cuma bisa menangkap sekilas tadi beritanya di SCTV.
Diposting pada 30 Maret 1999
Siapa Yang Akan Selamat ?
Waktu yang kelewat sempit untuk menyiapkan dan melaksanakan Pemilu 99, serta perkembangan sosial-politik-ekonomi yang tidak menggembirakan akhir- akhir ini, membuat banyak orang bertanya "apakah Pemilu 99 jadi dilaksanakan?" Bahkan bila dilaksanakan sekali pun, pertanyaannya lebih serius "apakah kendali politik masih tetap di tangan tokoh reformis, atau justru kembali ke kelompok pendukung status-quo?"
Jawaban terhadap pertanyaan pertama sudah sangat jelas : pasti dilaksanakan. Sebab untuk melakukan perubahan terhadap jadwal pelaksanaan pemilu, harus dilakukan Sidang Istimewa MPR lagi, spesial untuk mengubah ketentuan yang menyatakan bahwa Pemilu 1999 ditetapkan pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu tinggal 11 minggu dari hari ini. Mana mungkin dilakukan SI-MPR lagi? Jadi mau tidak mau pemilu terpaksa dilakukan.
Bagaimana dengan perkembangan sosial-politik-ekonomi yang memburuk? Dalam situasi seperti yang terjadi di Timor Timur, Ambon, maupun Sambas akhir- akhir ini, jangankan melaksanakan pemungutan suara, berkampanye saja tidak mungkin. Bila situasi berkembang lebih buruk lagi, sementara hari "H" pemilu mendekat, bukan mustahil Pemilu 1999 dibatalkan, dan lahirlah pemerintahan junta militer.
Mungkin saja militer tidak berniat masuk lagi ke politik. Tapi mereka tidak akan tinggal diam bila melihat negara dan bangsa ini di ambang disintegrasi. Persoalan lain, seperti skenario perbaikan ekonomi memang akan menjadi berantakan lagi. Tapi kita sudah sepakat bahwa dalam kondisi apa pun, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tidak boleh dikorbankan.
Kalau begitu, sudah, di daerah yang proses pemilunya diperkirakan bermasalah, pemilu tidak usah dilaksanakan. Ini memang ideal. Namun ketentuannya adalah, pemilu dilakukan secara serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah hukum RI. Artinya, bila ada daerah yang tidak melaksanakan pemilu, pemilunya batal demi hukum.
***
BAIKLAH, pemilu terpaksa dilaksanakan. Lalu siapa di antara 48 partai yang ada saat ini yang masih memiliki peluang untuk tetap ikut pada pemilu berikutnya? Setidaknya ada 5 (lima) variabel yang bisa kita jadikan patokan untuk menilainya.
Pertama, pemimpin dan kepemimpinan. Di era reformasi saat ini, pemimpin yang diharapkan muncul adalah mereka yang sama sekali tidak terkena "aroma Soeharto". Reformasi yang identik dengan demokratisasi menghendaki pemimpin yang berjiwa egalitarian, yang mau duduk bersimpuh bersama rakyatnya membahas masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi. Bukan pemimpin yang bergaya arogan, yang untuk minta maaf saja harus menunggu hari raya Idul Fitri.
Pemimpin yang dikehendaki adalah yang visioner, memiliki visi jangka panjang sehingga mampu memainkan peran pencerahan kepada rakyatnya. Selain itu, mengingat ancaman disintegrasi yang kita hadapi, serta kemerosotan moral yang luar biasa, maka pemimpin yang didambakan rakyat saat ini adalah yang jiwa nasionalismenya kuat serta beretika. Tidak dikehendaki, misalnya, pemimpin yang mengaku tidak punya uang satu sen pun tetapi bisa membeli rumah di London.
Kedua, basis massa yang jelas. Hanya partai yang memiliki akar massa yang bisa bertahan pada Pemilu 1999. Selain menjadi penjamin perolehan suara minimal, basis massa itu menjadi semacam modal bagi partai yang bersangkutan untuk menyebarkan "dagangannya" selama masa kampanye. Otomatis sebaran konsentrasi massa juga sangat menentukan. Sekalipun massanya banyak tapi terkonsentrasi di satu tempat, sangat tidak mendukung upaya partai menambang suara pemilih sebanyak-banyaknya.
Pemilu 99 jelas merupakan ujian bagi partai, apakah mereka benar-benar memiliki massa. Khusus bagi dua partai lama, Golkar dan PDI yang selama ini menikmati perlindungan yang diberikan oleh pemerintah melalui semacam mobilisasi dukungan, Pemilu 99 merupakan ajang pembuktian bahwa mereka bisa survive tanpa perlindungan dan fasilitas apa pun.
Ketiga, basis ideologi. Partai harus memiliki ideologi, satu gambaran lengkap dari berbagai dimensi tentang kehidupan sosial-politik yang diidamkan. Ideologilah yang membedakan satu partai dengan partai lain, yang membuat pemilih yakin partai yang akan dipilihnya. Di sini harus dibedakan antara ideologi partai dengan ideologi negara.
Semua partai harus tunduk pada ideologi negara ; sebab partai hanyalah bagian (part) dari satu bagian bangsa (nation). Ideologi partai berusaha menggambarkan tafsiran atas ideologi negara, tentang bentuk ideal kehidupan kemasyarakatan menurut pandangan mereka.
Keempat, basis material. Hanya partai yang memiliki sumber keuangan yang cukup, yang memadai untuk setidaknya menggerakkan roda organisasi, yang masih akan tetap ada setelah Pemilu 99 berakhir.
Kekhawatiran masyarakat akan politik uang (money politic) bersumber pada kenyataan bahwa salah satu partai memiliki "dana raksasa" yang tidak mungkin lagi dihitung dengan kalkulator. Kekuatan raksasa ini sudah mereka tunjukkan dengan kampanye terselubung, bagi-bagi uang "untuk kepentingan organisasi". Konon, uang itu milik pribadi sang tokoh, dan bagi-bagi uang itu dinilai sebagai zakat mal. Waduh, kalau begitu pendapatan tokoh itu bisa sampai ratusan milyar rupiah sebulan !
Politik uang memang mengkhawatirkan. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang makin sulit, akan banyak pemilih yang menentukan pilihan dengan pertimbangan sesaat, pragmatis. Ini potensial membuat masukan aspirasi masyarakat menjadi manipulatif, dan keluaran dari sistem itu juga manipulatif. Akibatnya, kita saksikan sendiri, apa pun yang dilakukan pemerintah tidak cocok dengan agenda masyarakat, yang berujung pada runtuhnya satu pemerintahan atau satu rezim politik.
Kelima, tersedianya infrastruktur organisasi yang memadai. Tidak perlu didebat, hanya segelintir partai-partai reformis saja yang memiliki infrastruktur yang mampu mengimbangi infrastruktur partai-partai lama. Melalui jaringan infrastruktur yang dimiliki, ditambah kekuatan keuangan yang besar sekali, bukan mustahil partai-partai lama bisa mengalahkan partai-partai baru.
***
LALU, siapa yang akan tetap ada setelah Pemilu 99 berakhir? Melihat bentang ideologis yang tidak demikian variatif dalam masyarakat kita, serta sedikitnya isu-isu sosial-politik yang bisa dikelola untuk dijual dalam kampanye pemilu, bisa dipastikan bahwa jumlah partai yang memiliki kekuatan yang cukup untuk terlibat membentuk satu pemerintahan akan turun drastis dari angka 48 partai.
Bila diikuti basis pembilahan ideologi yang ada, yang jumlahnya tidak lebih dari 4 (empat) akar pokok, dan bila diasumsikan bahwa tiap akar akan melahirkan dua partai yang mendapat suara paling menonjol, maka jumlah partai yang bisa terlibat dalam pemerintahan tidak lebih dari 8 (delapan) buah. Kalau pun derajat militansi digunakan, ada partai yang sangat militan, setengah militan dan moderat, maka jumlah partai yang survive tidak akan lebih dari 12 buah.
Berapa pun jumlah partai yang muncul, tampaknya Pemilu 1999 merupakan ajang uji coba terhadap kekuatan politik yang ada di Indonesia. Selain itu, kelemahan yang masih mencolok dalam tiga UU Politik yang menjadi landasan Pemilu 99 tampaknya masih harus diperbaiki lagi untuk Pemilu 2004. Artinya, boleh jadi pemilu yang sebenarnya, yang aturannya benar-benar dipahami rakyat sehingga mereka bisa menikmati positive freedom, baru akan terjadi pada Pemilu 2004.
Dengan demikian dapat diramalkan, bahwa hasil Pemilu 99 adalah terbentuknya sistem kepartaian yang disebut Polarized Pluralism, ada beberapa partai yang membentuk pemerintahan dan beberapa partai yang berkoalisi untuk membentuk oposisi. Bagaimana pun, cerita ada partai yang demikian gagah perkasa terhadap partai yang lain sudah tamat. Reformasi menghendaki keseimbangan antar kutub-kutub politik yang ada dalam sistem politik kita.
Kaki Merapi, 25 Maret 1999
Diposting di UGM-Club pada 29 Maret 1999
Mahasiswa UGM Jadi Pemantau Pemilu
Yang jelas, ke-300 mahasiswa UGM itu akan terjun ke daerah pedesaan mulai 10 April 1999 mendatang dan tugas utamanya adalah melakukan Pendidikan Politik serta penyuluhan mengenai Pemilu. Dalam penjelasannya, Rektor UGM Prof Dr Ichlasul Amal mengatakan bahwa program ini merupakan realisasi dari lompatan akademik yang dilakukan UGM, dimana tugas pemantauan pemilu ini merupakan bentuk dari kuliah kerja nyata (KKN) yang pengertian regulernya lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik di pedesaan.
Menurut Amal, waktu pemantauan pemilu direncanakan antara 10 April sampai 15 Juni 1999. Waktunya cukup panjang karena yang dipantau mahasiswa bukan hanya saat hari pencoblosan, tetapi seluruh proses pentahapan pemilu. ''Jadi yang akan dipantau mahasiswa mulai dari pendaftaran sampai pencoblosan, bahkan sampai pada pengamanan transpor kotak suara. Ada 'kan pada Pemilu yang lalu kotak suara tidak dilangsungkan ke kecamatan atau kabupaten, tetapi diselewengkan dulu untuk diganti isinya. Mulai dari TPS, kecamatan dan kabupaten akan diawasi," tegasnya.
Kerusuhan-kerusuhan menjelang pemilu yang dilakukan antarpartai peserta pemilu juga dipantau oleh mahasiswa dan akan diadukan ke Panwaslak dan berbagai lembaga pengawasan Pemilu lainnya. Partai yang terbukti melakukan aksi kekerasan akan dikenai sangsi bahkan terancam dibubarkan oleh Mahkamah Agung bila sampai menyebabkan korban jiwa.
Selain melakukan pemantaun pemilu, mahasiswa selama di lokasi KKN juga tetap diwajibkan berinteraksi dengan masyarakat setempat, membantu kesulitan masyarakat desa, ataupun memberikan ceramah/ pembekalan politik. Pembekalan atau Pendidikan politik ini termasuk juga memperkenalkan visi dan materi ke-48 partai peserta Pemilu sehingga masyarakat pedesaan bisa memperoleh informasi yang akurat mengenai partai apa yang tepat untuk dipilih oleh mereka.
Seluruh hasil pantauan mahasiswa ini dilaporkan kepada Komite Pemantau Pemilu (KPP) UGM yang diketuai Bambang Kartika, Pembantu Rektor III UGM. KPP inilah yang akan melaporkan kepada tim pengawas pemilu yang dibentuk pemerintah. Bambang menyatakan, 300 orang mahasiswa ini akan diterjunkan di empat kabupaten, yaitu Gunungkidul, Kulonprogo, Sleman dan Bantul. "Kami sengaja akan konsentrasikan untuk wilayah DIY saja. Khusus untuk Kodya Yogyakarta, kami tidak menempatkan mahasiswa karena pengawasan dari masyarakat sendiri sudah lebih ketat," tegas Bambang.
Menurut Bambang, 300 mahasiswa itu jumlahnya sangat kecil dibanding jumlah tempat pemungutan suara (TPS). Di empat kabupaten itu terdapat 75 kecamatan dengan 5.500 TPS. Sayang sekali memang. Ternyata mahasiswa UGM yang punya keperdulian terhadap persoalan politik tetap saja jauh lebih sedikit dibandingkan mereka yang berwatak apolitis. Apakah hal ini merupakan cerminan masyarakat kita ? Waduhh
Diposting pada 24 Maret 1999