Wisnu Ali Martono bertanya :
Pakde Kendro, nanya nih,
Di milis Apakabar, ada seorang netter yang selalu meledek bahwa TNI (atau apalah namanya waktu itu) sebenarnya tidak pernah bertempur melawan Belanda. Mereka cuma ngumpet kalau ada Belanda.
Saya tidak percaya dengan omongan ini. Tapi, kemana saya harus mengeceknya? Nah, kalau pakde anggota TP, bisakah pakde cerita di mana pakde pernah ikut perang, dalam arti tembak2an dengan Belanda?
Terus terang, saya ikut sakit hati dibilang TNI nggak pernah perang beneran sama Belanda.
Pakde Kendro menjawab :
Ananda Wisnu dan teman-teman,
Netter yang nulis di APAKABAR itu ada betul ada salahnya. Kami anggota TP adalah bagian dari TNI Brigade 17 dibawah kolonel Nasuhi (jaman saya). Tidak betul2 TNI, tidak menerima gajih hanya kadang2 diberi uang saku, kadang dapat makan dari dapur umum kadang2 kalau terjepit harus cari makan sendiri.
Detasemen 1 daerah pertempuran sekitar Suroboyo lebih populair dinamakan TRIP dan TGP, commandant nya Isman (terachir jadi Ambassador di Rangoon kalau tidak salah) Detasemen 2 (Detasemen saya) commandant nya Achmadi-Solo (Brig Jen) katanya achirnya dituduh Pak Harto pro kaum Communist, teather pertempuran Semarang, Pati, Solo.
Detasemen 3 Jogja, commandant nya Martono-Jogja daerah pertempuran Jogja dan sekitarnya sampai ngulon ke Kebumen Gombong (banyak teman2 SMAB - Padmanaba Kotabaru) yang gugur disitu. Martono yang ngirim saya sekolah ke USA tahun 1957.
Perang frontal lawan Belanda jarang terjadi di daerah Semarang/Pati/Solo taktik kita hit and run (ala Viet Cong lawan US dan South Vietnam), Governor Militairnya teather pertempuran pak Gatot Subroto, tidak ingin kita mati konyol menyerang frontal lawan KNIL dan KL yang perlengkapannya sempurna, dengan tank, bren and personnel carriers, mortars dan howitzers.
Rata2 kita hanya punya karabijn tua. Antara doorstoot kedua Dec 1948, Jogja diduduki Belanda, sampai December 1949. Compie kami hanya bikin onar, agar Semarang tidak merasa aman, jalan2 diluar kota, dari Srondol, Banyu Biru, Mranggen, Bedono tetap didalam kekuasaan kita. Kenyataan ini dipakai oleh groupnya Sutan Sjahrir cs dan kaum politikus diwaktu itu, sebagai bukti bahwa de facto Republik Indonesia masih ada, walaupun Bung Karno/Hatta sudah ditawan di Sumatra.
Achirnya belanda tak dapat lagi mengongkosi perang kolonialnya, dan politikus belanda sendiri bosen mendengar anak-anak muda belanda pulang sebagai mayat. Achirnya belanda setuju mengakui de facto and de jure Indonesia (waktu itu RIS - Republik Indonesia Serikat) bulan Dec 1949 atas tekanan UN Komisi Tiga Negara US/Australia/Belgium (Goodwill Commission).
Perang frontal yang saya tahu dijalankan oleh Divisi Siliwangi, compie Mundinglaya karena mereka mempunyai senjata compleet, disekitar Bandung, waktu kembali dari Hijrah Jogja ke Bandung (jalan kaki). Dan divisi Brawijaya di sekitar Suroboyo juga melawan pasukan KL/KNIL secara frontal. Mudah2an jawaban saya berguna.
Pakde Kendro
Jumat, 30 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar